Ada yang aneh dan menarik di gelaran Pilgub DKI Jakarta kali ini. Dari 3 pasangan calon (6 orang) yang mendaftar hanya ada 2 orang yang merupakan kader partai politik yaitu Djarot Saeful Hidayat dari PDIP dan Sandiaga Uno dari Gerindra. Bahkan ketiga kandidat Gubernur yang maju adalah orang orang yang murni non partai politik tetapi diajukan justru oleh partai politik.
Coba bandingkan dengan Pilgub DKI 2012 yang diikuti 6 pasang calon di mana 4 calon adalah dari partai politik yaitu petahana Fauzi Bowo- Nachrowi Ramli yang diusung Parta Demokrat, PAN, Hanura serta PKB, kemudian pasangan Jokowi-Ahok yang diusung PDIP-Gerindra, pasangan Hidayat Nur Wahid-Didik J. Rahbini yang diusung PKS serta Alex Nurdin-Nono Sampono yang diusung Partai Golkar. Keseluruhan calon khususnya calon gubernur merupakan kader-kader partai politik. Sedangkan untuk kalangan non Partai jelas maju melalui jalur independen yaitu pasangan Hendardji Supandji-Ahmad Riza Patria serta pasangan Faisal Basri-Biem Benyamin.
Menurut saya terjadinya fenomena yang aneh di Pilgub DKI kali ini dilatar belakangi oleh beberapa hal:
- Rendahnya Kepercayaan terhadap Partai Politik
Survei Lembaga Indikator Politik Indonesia yang dilakukan pada bulan Agustus 2016 menempatkan Presiden, TNI dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai institusi yang paling dipercaya publik. Berdasarkan hasil survei, sebanyak 89% responden menyatakan percaya kepada Presiden, disusul TNI (88%), dan KPK (82%). Berbanding terbalik partai politik dan Dewan Perwakilan Rakyat menjadi institusi yang paling tidak dipercaya oleh publik. Adapun responden yang percaya dengan DPR hanya 53% ,Selain itu di beberapa survei tentang lembaga yang dianggap paling korup masih menempatkan DPR alias parpol sebagai lembaga terkorup salah satunya dari lembaga Survei Populi yang dilakukan pada Januari 2015 yang menempatkan DPR sebagai lembaga yang paling korup dengan 39,7% responden. Banyaknya anggota DPR dan kepala daerah yang terlibat korupsi dan ditangkap KPK disinyalir yang menyebabkan hal di atas,
- Kurangnya Regenerasi Kader Partai Politik
Pola rekruitment dan regenerasi di parpol masih belum memunculkan kader kader potensial di masyarakat. Popularitas dan isi dompet masih menjadi faktor dominan pada pola rekrutmennya. Belum lagi isu-isu soal mahar politik bagi calon luar partai yang ingin maju melalui jalur parpol membuat tokoh potensial tetapi isi dompet kurang menjadi tidak muncul. Hanya PDIP yang menurut saya cukup berhasil memunculkan figur-figur kuat seperti Jokowi, Tri Rismaharini dan Ganjar Pranowo. Adapun nama Ahok, ataupun Ridwan Kamil sejatinya bukan merupakan kader parpol tetapi dimajukan oleh parpol. Tanpa figur yang kuat apalagi dengan karakteristik pemilih di Jakarta yang lebih rasional, maka calon luar parpol jauh lebih realistis bila ingin memenangkan Pilkada di DKI Jakarta, - Ahok yang Ingin Maju Melalui Jalur Independen
Faktor ini yang menurut saya yang paling sangat menentukan peta kandidat Pilgub DKI kali ini. Setelah menyatakan keluar dari Partai Gerindra, Ahok kemudian mewacanakan untuk maju melalui jalur independen. Dengan didukung oleh relawan teman Ahok, angka dukungan KTP yang didapatkan cukup fantastis yaitu menyentuh lebih 1 juta KTP dari sekitar 525 ribu minimal yang dibutuhkan untuk maju melalui jalur perseorangan. Dengan pemberitaan seputar Ahok maju melalui jalur perseorangan yang begitu gencar dan massif di media  apalagi dengan sebagian besar masyarakat yang sudah tidak percaya partai politik maka wajar dukungan terus bermunculan untuk Ahok untuk maju melalui jalur independen.Keputusan Ahok yang notabene Gubernur DKI yang sedang menjabat ini membuat parpol parpol seperti kebakaran jenggot. Secara tidak langsung Ahok dianggap mengajak masyarakat untuk tidak mempercayai partai politik lagi atau istilah yang muncul yaitu deparpolisasi. Partai  partai sepertinya melihat bahwa Ahok merupakan ancaman akan eksistensi parpol sehingga mulailah beramai ramai Ahok diserang dari kader kader parpol termasuk usaha usaha untuk menjegal pencalonan dengan memperberat syarat pendaftaran calon independen. Parpol sadar bahwa bila Ahok menang melalui jalur independen maka partai politik akan semakin tidak dipercaya masyarakat dan akan memancing munculnya tokoh tokoh populer lain yang justru maju pemilu melalui jalur independen bukan lagi seleksi melalui jalur parpol.
Partai Mulai Menurunkan Ego Politik
Melihat realitas yang ada di masyarakat khususnya di DKI Jakarta yang lebih rasional dan melek teknologi, untuk meningkatkan kembali kepercayaan publik terhadap partai politik sepertinya menurunkan ego  adalah hal yang rasional dipilih partai politik daripada memaksakan kader mereka sendiri. Kemudian mulailah satu persatu partai politik menyatakan mendukung Ahok walaupun Ahok maju justru melalui jalur independen. Dimulai dengan Partai Nasdem, Hanura kemudian disusul Golkar. Bahkan ketika calon wakil Ahok adalah Heru Budi Hartono yang merupakan birokrat murni mereka tetap mendukung Ahok.
Dan pada akhirnya setelah Ahok mengalah dengan mengumumkan akan maju melalui jalur partai politik walaupun di last time sebelum pendaftaran PDIP kemudian mendukung Ahok dengan PDIP hanya menempatkan kader sebagai calon wakil Gubernur yaitu Djarot Saeful Hidayat. Padahal PDIP sebagai partai terbesar dengan 28 kursi DPRD dan bisa mengajukan calonnya sendiri tanpa harus berkoalisi. Apalagi Ahok sejak awal menyatakan tetap tidak akan masuk sebagai kader PDIP walaupun misalnya didukung PDIP.
Setelah itu merembet pada  kemunculan nama Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni yang bukan merupakan  kader partai politik diusung oleh koalisi Cikeas. Entah keuntungan apa yang didapat oleh PKB, PPP dan PAN yang menyetujui munculnya nama Agus H. Yudhoyono yang merupakan anak mantan Presiden SBY sehingga menurut saya baik kalah ataupun menang hanya SBY dan Partai Demokratlah yang paling diuntungkan.
Kejutan lain juga muncul di mana Gerindra yang awalnya mengajukan kader mereka yaitu Sandiaga Uno sebagai calon Gubernur rela untuk menurunkan ego kader mereka menjadi hanya calon wakil gubernur oleh cagub yang bahkan merupakan pernah menjadi musuh, orang yang pernah menyerang Prabowo saat Pilpres 2014 berlangsung yaitu Anies Baswedan. Dan yang paling menarik kemudian adalah PKS, setelah sempat mengajukan nama kader mereka yaitu Mardani Ali Sera sebagai calon wakil Sandiaga Uno, PKS kemudian mengalah dengan bersedia mendukung pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Pertanyaannya kemudian apa kira kira keuntungan yang bias didapat oleh PKS andai Anies-Sandiaga menang?
Tujuan Utama
Menurut saya, dengan strategi mengusung calon yang bukan meruapakan kader mereka sendiri. Khususnya setelah munculnya euforia kemunculan Ahok dengan jalur independennya, selain berharap mendapatkan lawan yang sebanding dengan Ahok (untuk yang tidak mendukung Ahok) setidaknya dengan mengajukan tokoh-tokoh 'independen' melalui jalur partai politik, yang terjadi tidak ada yang benar benar maju Pilkada DKI melalui jalur independen sekarang ini (yang ingin maju independen gagal) dan berharap gaung dan euforia jalur independen yang awalnya sempat menguat di Jakarta  kemudian meredup dan tidak merembet ke daerah daerah lain hingga akhirnya parpol kembali menjadi jalur satu satunya untuk meraih kekuasaan politik di tanah air.