Sekitar bulan Mei 1838 pemukiman Dayak Bidayuh yang berupa rumah Panjang (Betang) dan Baluq di daerah Bung (Bukit) Bratak di daerah Bau (Malaysia) diserang oleh sekelompok orang dari kaum Iban Skrang yang dipimpin Bagat. Karena Kaum Bidayuh tidak siap menghadapi serangan karena saat itu para kaum pria Bung Bratak sedang turun ke ladang sehingga pertahanan Bung Bratak dengan mudah diluluh lantak oleh serangan itu.Â
Ketidak siapan itu sendiri karena saat itu tidak sedang musim berperang atau mengayau (mencari kepala). Â Korban jiwa yang terdiri atas anak-anak dan wanita berjatuhan. Harta benda dirampas dan sebagian penduduk (terutama anak-anak) diangkut untuk dijadikan budak. Betang, Baluq, dan lumbung padi dibakar.
Panglima Kulow dan para lelaki kaum Bidayuh Jagoi, melihat kepulan asap dari kejauhan karena beliau sedang di ladang. Kemudian berteriak memanggil para lelaki untuk berkumpul dan bergegas pulang ke kampung.
Saat tiba di Kampung dia melihat kampungnya hancur lebur, dia sedih ditambah lagi saat menemukan jasad istrinya. dengan memeluk tubuh istrinya dia menangis tersedu-sedu karena kesedihan yang mendalam. Begitu juga dengan para pria yang lain.
Sebagai seorang Panglima, Kulow adalah bukan orang sembarangan, Dia memiliki kesaktian yang teruji dan mumpuni. Tetapi Kulow adalah seorang Visioner, Dia tidak mengambil keputusan mengorganisir angkatan perang untuk balas dendam. Sebenarnya dia bisa saja mengumpulkan laskar Dayak Bung Bratak  dan  dari rumpun Bidayuh lain atau menjalin persekutuan dengan para musuh Iban Skrang untuk melakukan serangan balik.
Dia mengumpulkan para pria dan mengadakan rapat. Dia mempunyai ide untuk mengakhiri pertumpahan darah yang selalu berulang terjadi selama ratusan tahun diantara orang Iban dan Bidayuh. Tentu saja untuk mengadakan kontak langsung dengan bukan hal yang mudah karena masing-masing pihak masih menyimpan dendam dan curiga. Akhirnya dia memutuskan mencari mediator untuk mendamaikan Iban dan Bidayuh.
Pada masa sarana dan alat transportasi sangat sulit. Orang pertama yang dia temui adalah Residen Pontianak. Tetapi residen menolak karena Bau adalah wilayah kekuasaan British Borneo bukan Hindia Belanda.
Setelah melalui berbagai lika-liku perjalanan selama tiga tahun (1841), Dia menemui James Brooke, Rajah Putih dari Sarawak. Raja bersedia menjadi mediator, kemudian berangkat James Brooke dengan sepasukan pengawal juga Panglima Kulow dan rombongan.
Setelah tiba di wilayah Skrang, mereka diterima dengan hangat oleh Kepala Suku Iban Skrang. Kepala Suku Iban meminta maaf atas tindakan Bagat dan kawan-kawan juga bersedia menjalin perdamaian dengan kaum Bidayuh Jagoi. Semua tawanan yang dibawa juga diperlakukan baik dan harta yang dijarah dikembalikan.
Terjadi peristiwa mengharukan karena antara anak (yang ditawan) dan bapak bisa saling bertemu yang telah berpisah selama 3 tahun. Setelah peristiwa ini tidak pernah terjadi lagi peperangan antara dua kaum Dayak itu. Sehingga orang Bidayuh dapat menjalani kehidupan dengan damai dan mereka beranak cucu hingga berkembang menjadi puluhan kampung, hingga ke Indonesia yang dikenal dengan Dayak Bidayuh Jagoi Babang. Jagoi Babang sendiri sekarang sudah menjadi kecamatan yang masuk dalam Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat.