Sayang saya belum sempat mudik ke tanah Bugis lebaran Idul Fitri tahun ini. Semoga lebaran Qurban nanti saya bisa mudik. Saya kangen mengembalikan spirit Bugis dalam diri saya, melakukan ritual Makkuruq Sumageq, memanggil kembali sukma saya. Amin. Dalam tulisan lepas ini, saya tak ingin membahas tentang Makkuruq Sumangeq itu tapi ingin bercerita sedikit tentang sebuah tradisi orang Bugis terkait dengan pintu rumahnya. Jika Anda bertandang ke perkampungan Bugis yang jauh dari pusat kota. Anda akan menemui rumah-rumah orang Bugis yang pintu bagian depan rumahnya terbuka sepanjang hari. Tak pernah ditutup. Pintu akan dibuka sejak fajar menyingsing hingga lembayung tergelincir. Sejak ayam turun dari peraduan hingga ayam itu kembali lagi ke peraduannya. Kenapa demikian?
Masyarakat Bugis, memahami bahwa pintu depan rumah tak hanya sekedar ruang tempat manusia keluar dan masuk rumah, melainkan juga sebagai pintu masuknya rejeki. Maka pintu harus dibuka sepagi mungkin tepat ketika rejeki dunia telah dihamparkan, rejeki harus dijemput ketika ia akan masuk rumah, dijemput dengan cara dibukakan pintu. Ketika rejeki telah masuk rumah, maka sedapat mungkin ia bertahan lama di rumah, tidak segera keluar rumah lewat pintu belakang.
Itu pulalah alasan kenapa pintu rumah bagian belakang selalu ditutup, berkebalikan dengan pintu depan yang selalu terbuka. Orang Bugis ketika ingin berbelanja ke pasar akan keluar lewat pintu belakang, lalu ketika datang akan lewat pintu depan. Tapi itu dulu, tidak lagi dengan sekarang.
Apakah pintu yang terbuka terus tidak mengundang maling?
Anda tidak perlu heran melihat pintu yang terbuka itu, rumah orang Bugis memang “aneh” dan terkesan mengundang maling. Selain pintu yang selalu terbuka, kebayakan rumah orang Bugis juga tidak memiliki pagar. Bahkan Istana Kerajaan pun juga tidak memiliki pagar sama sekali. Tapi itu dulu, berlangsung sebelum tahun 60-an akhir.
Pada masa itu hampir tidak ada barang berharga di setiap rumah orang Bugis, kecuali hasil bumi, seperti gabah dan jagung. Maka tak perlu ada yang dijaga ketat, tidak ada yang menjadi daya tarik para maling, lagi pula kala itu mungkin tidak banyak maling, bahkan mungkin maling-maling itu juga punya gabah dan jagung di rumahnya.
Pada tahun 60-an akhir, perilaku itu telah berubah. Banyak rumah yang telah memiliki pagar, bahkan pintu rumah kebanyakan telah ditutup. Masa itu orang Bugis telah banyak memasukkan barang berharga dalam rumahnya, seperti radio, perhiasan emas, sepeda hingga bayu kebaya. Maka itu perlu dijaga dan dilindungi. Tidak hanya pintu depan rumah yang ditutup, melainkan tangga rumah yang terhubung dengan teras rumah (lego-lego) juga diberi penutup serupa pintu diatasnya.
Jika pada jaman itu, Anda menemui rumah yang berpagarkan daun beluntas, maka yakinlah dirumah ada barang berharga. Daun bulitas selain ramuan kecantikan bagi perempuan juga merupakan kode bagi petugas keamanan kala itu. Perintah bagi mereka untuk memberi perhatian khusus bagi rumah itu saat berpatroli.
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H