Mohon tunggu...
Suryadin Laoddang
Suryadin Laoddang Mohon Tunggu... Wiraswasta - Konsultan Digital Marketing - Pemerhati Budaya Bugis

Lahir tahun 79 di Sulsel. Kini menetap di Yogyakarta sejak 97. Latar belakang pendidikan ekonomi, tetapi lebih tertarik ke masalah Budaya. Khususnya sastra Bugis berupa GALIGO, ELONG-KELONG, DARARI, AKKE ADA, dll.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Galigo Hari Ini, Seri 99 (Edisi Mengenang Kepergian Bissu Sai'di)

1 Juli 2011   07:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:01 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

GALIGO HARI INI, SERI 99

EDISI KHUSUS : MENGENANG KEPERGIAN BISSU SAI’DI

Langi Alani Taromu (8)

Muppadimajeng Sai (7)

Ana’ MapeddiE (6)

Arti Bugis : Eeee Puang, talaani paimeng taro-tarota, anrasa-rasangmitu kasi’ simata napunennung ri laleng linoE

Arti Indonesia : Ya, Tuhanku. Sungguh tepat kiranya Engkau panggil ia ke keharibaanmu. Sehingga lepas sudah segala deritanya dimuka bumi ini.

Kata kunci : 1.Langi = Langit = Simbol Botting Langi, dunia atas. Sehingga bermakan Tuhan. 2. Majeng = Kuburan / Akhirat. 3. Ana’ MapeddiE = orang yang menderita hidupnya.

PENJELASAN : Galigo ini sungguh tepat untuk mengenang kepergian Bissu Sai’di. Terlepas dari berbagai pandangan pro dan kontra tentang konsep ke-Tuhan-anannya, Bissu sangat dibutuhkan oleh pemerintah dan masyarakat Sulawesi Selatan. Tak lengkap rasanya pesta-pesta dan ritual adat tanpa kehadirannya. Sekedar pelantikan seorang pejabat pemerintahan pun tak lengkap tanpa kehadiran seorang bissu. Sayang, kehadirannya hanyalah simbol. Ibarat pepatah “habis manis sepah dibuang” itulah nasib para bissu, termasuk bissu Sai’di. Nasib yang juga menimpa pegiat-pegiat budaya lainnya.

Itu masih mending, belakang muncul idiom baru. “Habis manis, tunggu manisnya lagi”, lihatlah para pegiat budaya selalu dipaksa berkreasi, dan memuaskan “syahwat” penonton. Tapi penonton tak tahu diri, tidak mau tahu bahwa pegiat budaya juga butuh sandang, pangan dan papan. Mereka (penonton) rela membayar “uang pipis” seribu rupiah dibanding mentelesepkan lembaran itu pada celengan apresiasi di berbagai acara budaya. Ini pulalah yang dialami Bissu Sai’di, ratusan orang membutuhkannya. Tapi tak ada yang peduli dengan kebutuhannya. Tak meminta imbalan salah, jikapun meminta disangka mengkomersialkan budaya. “Budaya itu milik umum bung”, begitu alasan para manusia pelit tersebut.

Tak peduli tubuhnya lelah dan “maggiri” minta istirahat. Tak peduli tulang punggungnya selalu minta “iparebba”, bissu Sai’di tetap datang dan memuaskan semua pihak. Meski kemudian, saat tubuhnya betul-betul “rebba”, tak ada yang peduli kecuali keluarganya. Ia harus dipontang-pantingkan dari dan ke tiga rumah sakit di Pangkep dan Makassar. Tragis!

Tepatlah kiranya, jika Tuhan (bagi kita) dan Dewata SeuwwaE (bagi Sai’di) segera memanggilnya. Kita yang ditinggalkan, mari kita apresiasi budayanya, tidak dengan kepercayaannya. Itu kalau anda mengklaim diri anda penganut taat agama anda, bukan agama KTP. Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun