Mohon tunggu...
Suryadin Laoddang
Suryadin Laoddang Mohon Tunggu... Wiraswasta - Konsultan Digital Marketing - Pemerhati Budaya Bugis

Lahir tahun 79 di Sulsel. Kini menetap di Yogyakarta sejak 97. Latar belakang pendidikan ekonomi, tetapi lebih tertarik ke masalah Budaya. Khususnya sastra Bugis berupa GALIGO, ELONG-KELONG, DARARI, AKKE ADA, dll.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gandrang Bulo Rasa "Es Tiga"

17 Juni 2010   00:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:29 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Photo : Koleksi S3

Tari Gandrang Bulo. Terakhir kali saya manyaksikannya di Festival Beber Seni di Meseum Vredeburg Yogyakarta tahun 2005. Kal itu, tarian ini sukses memukau penonton, berbeda dengan tarian etnis Bugis – Makassar lain yang berirama lembut, lamban dan penuh pengkhyatan disetiap tarinya. Tari gandrang bulo justru mengedepankan gerakan tangan dan kaki dengan tempo cepat, rancak dan energik seolah tak ada tata gerak baku. Lewat tarian Gandrang Bulo ini pulalah, pertanyaan dibenak saya selama ini terjawab. Kenapa selama ini tari Bugis – Makassar justru menampilkan karakter lembut, lamban dan penuh pengkhyatan, bukankah orang Bugis – Makassar terkenal dengan karakter keras dan tegasnya.

Adalah Asril Violin, pelaku seni Bugis – Makassar yang sempat menimba ilmu di Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Dalam latihan bersama Sanggar Seni Latenribali di Yogyakarta menuturkan “ sesungguhnya tarian itu melambangkan karakter orang Bugis – Makassar, dalam perspektif gender masing-masing “. Ungkapan Asril Violin, yang beberapa waktu lalu tampil memukau dalam konser tunggal Solo Violinnya di Makassar, kiranya dapat dibenarkan. Karakter Bugis – Makkassar yang keras dan tegas memang hanya ditemui pada kaum pria, sementara pada kaum perempuan justru sebaliknya. Mereka cenderung tampil anggun, gemulai dan keibuan. Makanya tidak jarang, pria dari suku lain berusaha mencari pendamping hidup dari perempuan Bugis – Makassar.

Maka wajar pula, jika tari Gandrang Bulo, Marraga/Maddaga, Massempe, Jujju Sulo yang dimainkan kaum pria lebih menonjolkan gerakan cepat dan bertempo tinggi. Berbeda dengan tari Pakarena, Lolusu, Padduppa, dan Bosara. Sebagaian contoh tari etnik Bugis - Makassar yang menampilkan kelembutan dan gemulai para penarinya. Gandrang Bulo, awalnya hanyalah tarian sederhana serupa tarian rakyat tanpa tata gerak baku ala istana kerajaan. Tarian ini adalah tarian khas Makassar dengan iringan tabuhan gendang dan alunan biola, mengalung riang bersama lirik lagu khas Makassar seperti Sumbang Kacayya. Disamping gampang ditarikan, perlengkapan tarian ini juta terbilang sederhana, cukup menggunakan bambu-bambu kecil. Beberapa penari menggunakan dua potong bilah bambu seukuran tujuh centimeter, dijepitkan sedemikian rupa diantara jemarinya, lalu ditetakkan hingga melahirkan bunyi sangat khas namun bernada. Separuh penari lainnya membawa dua potong ruas bambu yang sengaja telah dipecah dan dicacah pada bagian ujungnya. Saat potongan bambu ini diadu, maka akan terdengar suara “prapak pak pak pak, prapak pak pak pak”, bunyi yang membangkitkan adrenalin penari dan penonton.

Dari catatan Yayasan Desantara dan dipublikasikan di Harian Fajar Makassar, 30 Juni 2007. Tercatat, tari Gandrang Bulo sempat menjadi bentuk eksperesi perlawanan seniman dan rakyat terhadap kolonialisme. Hal ini tercermin dalam syair ; Tahun 1942 Na Mandara I Tuan Nippon caddi mata Na Passadia Bokong Latama ri Camba Kasirati memang tongi I Balanda Bunrang mata Nippon mandara Na gudang na tunu pepe (Tahun 1942 mendarat Tuan Nippon si mata sipit menyiapkan bekal masuk ke daerah Camba Memang kurang ajar Si Belanda bermata kabur Nippon yang mendarat kok gudang-gudang yang dibakar)

Petikan syair diatas adalah bagian dari lakon Gandrang Bulo 1942. Sebuah genre Gandrang Bulu yang muncul pada masa Romusha, perbudakan ala tentara pendudukan Jepang. Konon, Gandrang Bulo model ini berawal dari iseng dan usilnya para pekerja paksa di masa Romusha. Saat istirahat, mereka secara spontan melakukan gerakan kocak yang meniru bahkan mencemooh gerak gerik, gesture serta prilaku tentara Jepang. Gerakan-gerakan kocak tersebut lalu ditimpali dengan bunyi-bunyian dari para pekerja lainnya yang memukul-mukul alat kerja mereka. Seperti pikulan, gagang cangkul, keranjang atau usungan yang terbuat dari bambu dan kayu. Riang dan kocaknya eksperesi para pekerja paksa tersebut mendapat sambutan meriah. Meski harus kucing-kucingan dengan tentara Jepan, tarian ini sukses mengundang banyak peminat untuk bergabung dan menikmatinya, bahkan ia kemudian dikenal dengan nama Gandrang Bulo 1942.

Masih dari catatan Yayasan Desantara. Pada akhir 1960-an, adalah Daeng Nyangka, seniman asal Bontonompo, Gowa. Beliaulah yang mengawali dan melakukan kreasi ulang terhadap tari Gandrang Bulo. Hasil kreasi Daeng Nyangka inilah yang kita kenal saat ini dan sering di pentaskan pada acara-acara seremonial. Akan halnya dengan Gandrang Bulo 1942, ia tetap mendapatkan tempat di masyarakat di Sulawesi Selatan hingga di Kota Budaya Yogyakarta. Aliran ini pulalah yang dipentaskan oleh Sanggar Seni Sawerigading (S3 – baca Es Tiga) dalam sebuah kesempatan di Balai Kota Yogyakarta.

Selamat buat adik-adik Wisma Sawerigading, wisma mahasiswa Sulawesi Selatan. Terima kasih telah mengobati rinduku pada Gandrang Bulo. Terus berlatih, dan perkenalkan budaya Bugis -Makassar di kota budaya, Yogyakarta.

Oleh : Suryadin Laoddang

Catatan :

Tulisan ini juga bisa dibaca di adinwajo.blogspot.com atau Notes Facebook saya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun