Oleh : SURYADI Mas (Wakil Sekretaris Umum HMI Cabang Makassar).
MAKASSAR - Gerakan mahasiswa kian hari kian meredup, Mahasiswa masih terjebak revolusi romantisme. Padahal yang di butuhkan oleh masyarakat saat ini adalah Mahasiswa yang peka dengan kondisi bangsa.
Eksistensi mahasiswa yang hanya bersifat euforia telah meruntuhkan nilai-nilai sakral identitasnya. Sejujurnya "Masyarakat jelata rindu teriakan Hidup Mahasiswa" agar dikumadangkan di persimpangan jalan.
Publik bertanya, mana suara hati Mahasiswa? Setelah Pemerintah menaikkan Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada Sabtu (3/9/2022). Tugas mahasiswa adalah menerima kondisi seperti apa adanya, atau terimalah tanggung jawab untuk merubahnya.
Ketika mahasiswa masih mampu berteriak di tengah-tengah "Despotisme" kekuasaan sekarang. Bahwa setiap kata adalah maujud dari perlawanan terhadap fenomena ketertindasan, sehingga pilihanya adalah berteriak di batas-batas kekuasaan yang "Diktator".
Langit memang kian terlihat mendung, badai semakin kencang merundung, basa-basi rasanya tidak diperlukan lagi. Krisis sudah jelas terpampang hari-hari ini.
Mungkin saja kita (mahasiwa) memang akan kalah, tapi mahasiswa bukan pecundang meninggalkan gelanggang dan pasrah pada keadaan, sehingga gantung Megaphone sebelum pertandingan di persimpangan jalan untuk demonstrasi.
Aktivis pemberontak jalanan, tak boleh berhenti dan menunduk dalam-dalam sebelum peluit panjang. Mahasiswa tidak relah melempar handuk ke lantai, karena kita belum sudi mengalah berteriak.
Mahasiswa boleh pesimis bahwa kekuasaan yang degil sulit untuk dikalahkan, dengan dalul bisa mengendalikan kehidupan hingga kematian. Bahkan rakyat bisa bungkam karena tebaran ketakutan, dibuat bisu oleh rentetan ancaman.
Kita semua tau bahwa pendapat di muka umum, apa pun bentuknya, merupakan salah satu hak asasi menusia yang dijamin konstitusi.
Semua upaya membungkamkan aspirasi rakyat yang disuarakan oleh mahasiswa harus dihentikan sehingga tidak memunculkan kesan represif.