Mohon tunggu...
Suryadi Maswatu
Suryadi Maswatu Mohon Tunggu... Jurnalis - Kita sama, kita satu, kita indonesia

Kemiskinan Sejati bukanlah semalam tanpa makan, Melainkan sehari tanpa berpikir.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Pena Lebih Tajam dari Pedang: Bahasa Itu Senjata, Kata adalah Peluru

23 Februari 2021   06:33 Diperbarui: 23 Februari 2021   06:49 3432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketgam Foto: Karikatur Pribadi Penulis.

Pena Lebih Tajam dari Pedang : "Bahasa Itu Senjata, Kata adalah Peluru"

Oleh : Suryadi Maswatu (Wartawan)

MAKASSAR - Tutur bijak mengatakan bahasa dan kata-kata adalah senjata bagi seorang wartawan untuk mengungkap teka-teki yang terbukam hingga menuai jawaban pasti.

Ada sebuah perumpamaan yang bagus. "Biar peluru menembus kulit, dan meradang menerjang luka, bisa berlari hingga hilang pedih dan perih".

"Jika sebuah pedang hanya dapat menusuk satu orang berbeda dengan kata atau bahasa bentuk kalimat dapat membunuh atau dirasakan ratusan bahkan ribuan orang dengan lebih kejam," demikian kutipan bijak.

Senjata tidak lagi digunakan sebagai penjaga rakyat, karena kejujuran dan keadilanlah yang harus menjaganya. Sejarah selalu membuktikan bahwa revolusi pena selalu membawa dampak yang lebih baik.

Kalau saya analogikan, pena seorang wartawan itu lebih tajam dibanding peluru. Karena 1 peluru itu hanya mengenai 1 musuh, tetapi kalau wartawan satu tulisan tinta pena sasarannya bisa jutaan manusia.

Jadi begitu luas dampak yang diberikan oleh seorang jurnalis atau wartawan. Bagaimana dia bekerja menulis sesuatu akan berdampak luas.

Jika mengutip dari berbagai sumber refrensi. Napoleon Bonaparte yang pernah berkuasa di Francis pada abad ke -- 18, pernah
mengeluarkan pendapatnya mengenai wartawan ketika dirinya terus dirongrong oleh jurnalis atas
kebijakannya saat itu.

"Pena - wartawan lebih tajam daripada sebilah pedang karena itu
saya lebih takut menghadapi tiga surat kabar daripada seribu ujung bayonet," tutur Napoleon Bonaparte kala itu.

Dari  ungkapan tersebut jelas betapa jurnalis atau wartawan memiliki kekuatan yang luar biasa sehingga seorang Napoleon yang sangat berkuasa begitu ketakutan dengan tajamnya kata dan kalimat wartawan saat itu.

Masa kini ketajaman pena wartawan terus menjadi momok bagi sebagian orang apalagi mereka yang sedang berkuasa dan tidak mau dikritik atas kebijakannya. Pers sendiri memiliki beberapa fungsi seperti melakukan edukasi, menghibur, mempengaruhi pendapat masyarakat sekaligus sebagai kontrol sosial bagi para penguasa termasuk
masyarakat umum.

Meski tugas berat sebagai jurnalis untuk menerima tantangan di lapangan karena berbagai problem dihadapi. Yakinlah ketika sensor berkuasa, ketika kekuasaan menindas akal sehat, maka jurnalisme harus melawan.
 
Karena tugasnya Jurnalis yang sangat mulia membuat para pembacanya bisa menjadi saksi sejarah, karya fiksi memberi kesempatan kepada pembacanya untuk menghidupkannya.

Saya teringat pada catatan pendek Gilbert Keith Chesterton seorang
Penulis dari Inggris (1874-1936) pernah mengungkapkan bahwa tugas wartawan menjalankan peliputan serta menulis itu berat karena mengungkap  hal fiksi menjadi fakta.

"Jurnalis itu populer, tetapi populer terutama sebagai fiksi. Hidup adalah satu dunia, dan kehidupan yang terlihat di koran adalah dunia lain," katanya.

Sedangkan, Alvin Toffler seorang Penulis dan Futurolog Amerika dikutip tulisan pendeknya mengatakan buta aksara itu bukan milil merrka yang tak bosa membaca dan menulis, melainkan bagi mereka yang tidak ingin belajar.

"Buta huruf tentang masa depan bukan bagi mereka yang tidak bisa membaca atau menulis. Tapi mereka yang tidak bisa belajar, meninggalkan belajar, dan mengulangnya," femikian kutipan ucapan Alvin Toffler dalam catatan pendek.

Meski sekarang banyak peresepsi soal wartawan terkait pemberitaan. Namun, jangan pernah merasa turun pamor atau naik gengsi dengan menjadi seorang wartawan, untuk terus menjalankan profesi tersebut.

Menjadi seorang wartawan bukanlah hal yang mudah karena dibutuhkan passion yang hebat dalam hal kesungguhan menggali informasi. Ketika seorang jurnalis sudah turun lapangan maka di situlah dia berjuang dengan segenap upaya untuk mendapatkan informasi yang berharga di tengah masyarakat.

Eksistensi wartawan belakangan ini mendongkrak kemajuan. Goresan tulisan dan peryanyaan menggelitik dirasakan seperti tembakan peluru.

Misalnya, pengakuan Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko mengaku bahwa dirinya lebih takut jika ditodong pertanyaan oleh wartawan ketimbang ditodong senjata api.

Pengakuan tersebut disampaikan mantan Panglima TNI itu dalam peringatan webinar peringatan Hari Pers Nasional 2021 yang digelar secara virtual, Minggu (7/2/2021).

"Tiga bulan awal saya di KSP itu jujur keringat saya cukup banyak, waktu itu saya tidak takut ditodong apalagi ditodong senjata, saya tidak takut, tetapi todongan-todongan wartawan ini lebih cepat, lebih tajam," kata Moeldoko.

Perjuangan seorang jurnalis akan terasa sangat berat ketika menghadapi perlawanan karena pekerjaan tidak mudah dan juga tidak menyenangkan.

Dari buku-buku di zaman kita, ragamnya begitu banyak, dan mereka mengikuti begitu cepat dari jurnalis sehingga orang harus menjadi pembaca yang cepat untuk memperkenalkan dirinya bahkan dengan judul-judulnya.

Perkembangan saat ini. Walau seorang jurnalis bukanlah profesi yang bisa membuat seseorang kaya dalam waktu instan, profesi inilah yang berkontribusi besar dalam kemajuan demokrasi suatu negara.

Tugasnya memang mengungkap fakta dan mengoreksi. Tapi mengkritiklah dengan membangun menggunakan solusi bukan semata karena sensi. Lakukan hal terbaik sebagai jurnalis. Yang terpenting seorang jurnalis harus berlaku independen dan terbebas dari belenggu cengkraman kekuasaan baik itu yang berasal dari pemerintah ataupun swasta.

Wartawan, atau jurnalis adalah profesi yang melakukan aktivitas jurnalistik yang menghasilkan berita baik dalam bentuk tulisan, video atau audio yang dikirimkan ke media massa. Profesi ini biasanya turun langsung ke lapangan untuk mendapatkan data yang dicari kemudian melaporkannya kepada lembaga pers.

Dengan bahasa yang kian menggelitik, penuh bumbu-bumbu yang menggoda pembaca tentu menjadi instrumen bahwa bahasa itu ibarat senjata dan kata adalah peluruh. Jika menembak seseorang dengan pemberitaan akan membuat gemetar hingga korban.

Selain dilindungi oleh UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.  Oleh sebab itu setiap wartawan dituntut tetap memegang kode etik.

Menjadi wartawan juga tidak gampang. Pertanggungjawabannya dunia akhirat. Selain itu, guna meningkatkan profesionalitas wartawan maka diharuskan setiap wartawan mengikuti Ujian Kompetensi Wartawan (UKW).

Setiap orang yang dirugikan akibat pemberitaan diberikan hak jawab yaitu hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.

Hak jawab digunakan ketika pemberitaan di media, baik media cetak, media siber, maupun media elektronik, bertolak belakang dengan fakta yang terjadi dan mencemarkan nama baik seseorang atau sekelompok orang.

Ketika hak jawab diberikan pers memiliki hak koreksi yakni hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh wartawan, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. (***).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun