Mohon tunggu...
Suryadi
Suryadi Mohon Tunggu... -

Saya menulis dengan sikap rendah hati. Saya hanya berharap dari apa yang saya tulis, orang lain akan beroleh manfaat, walau mungkin hanya secuil. Dan saya berharap dari manfaat yang diperoleh orang lain dari tulisan saya itu, Tuhan Yang Maha Kuasa akan berkenan membalasnya dengan menunjukkan jalan kebenaran dalam hidup saya. (Personal page: http://www.universiteitleiden.nl/en/staffmembers/surya-suryadi).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Asisten Demang Nagari Sicincin yang Mati Dicincang Orang Komunis pada Tahun 1926

13 September 2016   04:40 Diperbarui: 13 September 2016   13:48 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sicincin adalah nama sebuah nagari di Sumatera Barat. Secara administratif, nagari Sicincin sekarang termasuk ke dalam wilayah Kecamatan 2 x 11 Enam Lingkung, Kabupaten Padang Pariaman, Provinsi Sumatera Barat.

Secara geografis, nagari Sicincin terletak dalam jalur antara darek (pedalaman Minangkabau) dan Pariaman, rantau barat Minangkabau. Nagari ini tidak begitu jauh letaknya dari Padang Padang, pusat pergerakan Sarikat Rakyat yang berhaluan komunis di awal abad ke-20. Salah seorang tokoh dari gerakan ini yang sangat terkenal dan pernah dibuang oleh Belanda ke Digul adalah Haji Ahmad Khatib Datuk Batuah (1895-1949) (baca: https://niadilova.wordpress.com/2012/12/31/minang-saisuak-117-si-muslim-komunis-minang-haji-ahmad-khatib-dt-batuah-1895-1949/). Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau pada tahun 1920an banyak penduduk Sicincin terpengaruh oleh ideologi komunis yang ditukarkan dari Padang Panjang, kota tetangganya di seberang Lembah Anai.

Esai ini merekonstruksi pembunuhan Asisten Demang Sicincin Rantau gelar Bagindo Umar Ali oleh simpatisan komunis dari barisan Sarikat Tani pada tahun 1926. Kami beruntung mendapatkan foto Rantau dalam sebuah majalah tua di perpustakaan Universiteit Leiden, sebuah foto yang tentunya sangat langka dan sulit didapatkan di perpustakaan-perpustakaan di tanah air. Rantau gelar Bagindo Umar Ali mati dibunuh oleh orang komunis pada tahun 1926 di Sicincin. Para pelaku pembunuhan itu adalah anggota Sarikat Tani di Sicincin. Pemimpinnya bernama Pakih Antok, dan beberapa orang bawahannya yang penting antara lain adalah St. Maloet, Mahjoedin, Boejoeng Poetih, Bojoeng Gadang, dan Tan Maradjo.

Majalah Pandji Poestaka (selanjutnya PP) No. 63, Tahoen IV, 10 Agustus 1926:1502 [Kroniek], merujuk De Locomotief, memberitakan bahwa pada tanggal 7 Agustus 1926 “di Padanglawas t[uan] Ass[istent] Demang Sitjintjin diserang oleh sekawan[an] kaoem kominis, ja’ni waktoe beliau bersama-sama dengan seorang Nagari hoofd, djoeroetoelis Penghoeloe dan seorang opas mengoendjoengi tempat terseboet oentoek menahan beberapa orang anggota Sarekat Tani dan merampas kartjis kartjis tanda mendjadi anggota perhimp[punan] terseboet. T. Ass. Demang dan Nagari hoofd menembakkan pestolnja sampai doea kali, tetapi ta’ mengenai seorangpoen. T. Ass. Demang laloe ditjintjang oleh mereka itoe, sedang temannja melarikan diri.” Sebanyak “18 orang dari kaoem penjerang telah ditangkap oleh polisi, jang 6 orang poela beloem ketemoe. Diantara orang-orang jang telah tertangkap itoe seorang ialah jang memboenoeh ass. Demang tadi.”

Berita pembunuhan Rantau gelar Bagindo Umar Ali dalam najalah Kejawen (lihat keterangan lebih lengkap di bawah).
Berita pembunuhan Rantau gelar Bagindo Umar Ali dalam najalah Kejawen (lihat keterangan lebih lengkap di bawah).
Berita pembunuhan Rantau gelar Bagindo Umar Ali, Asisten Demang Sincincin dalam majalah Kejawen, No. 51, Th.1, 23 Desember 1926 ,Waktu Jumadilakir, Tahun Wawu 1857:1293-1294. Berita di atas berjudul:
Berita pembunuhan Rantau gelar Bagindo Umar Ali, Asisten Demang Sincincin dalam majalah Kejawen, No. 51, Th.1, 23 Desember 1926 ,Waktu Jumadilakir, Tahun Wawu 1857:1293-1294. Berita di atas berjudul:
Pemerintah segera mengadakan penyelidikan terhadap permbunuhan yang amat sadis itu, yang melibatkan polisi, tuan Controleur dan Landraad (Jaksa) Pariaman. Pada akhir Agustus 1926, “t. controleur Pariaman bersama dengan 12 orang agen polisi telah menangkap St. Maloet di Asam Poelau, daerah Andoering, bilangan ond[er]. Distr[rict] VII Koto. Waktoe polisi menjelidiki roemah[nja,] terdapatlah tanda-tanda jang berhoeboengan dengan propaganda kominis di Sitjintjin dan terdapat poela seboengkoes dinamit. Lain dari pada itoe polisi menangkap seorang poela bernama Mahjoedin, asal dari Sitjintjin” (PP, No. 68, Tahoen IV, 27 Agustus 1926:1625 [Kroniek], merujuk Java Bode).

Satu peristiwa menyedihkan terjadi: pada awal September 1926, “Landraad Pariaman, jang menjelidiki perkara pemboenoehan t. ass. Demang Sitjintjin, sekojong-kojong meninggal doenia. Sepandjang doegaan orang beliau itoe diratjoen. Politie tengah menjelidiki hal itoe (PP, No. 73, Tahoen IV, 14 September 1926:1745, merujuk Java Bode). Namun belakangan diketahui bahwa “[m]enoeroet penjelidikan, djaksa Pariaman, jang meninggal doenia itoe boekan karena diratjoen orang. Betoel beliau meninggal doenia waktoe tengah menjelidiki perkara pemboenoehan Ass. Demang Sitjintjin (PP, No. 76, Tahoen IV, 24 September 1926:1803 [Kroniek], merujuk Java Bode).

Pakih Antok, kepala rombongan pembunuh Asisten Demang Sicincin itu, baru berhasil ditangkap polisi pada 12 Februari 1927. Ia “ditangkap oléh berigade jang dikepalaï oléh sersan Ekelhoff, dengan pertolongan demang di Tilatang”. Ia “laloe dikirim ke Fort de Kock” (PP, No. 15, Tahoen V, 22 Februari 1927:241 [Korniek], merujuk JavaBode). Pakih Antok “tertangkap di Pintjoeran Toedjoeh (Padang Pandjang), didalam satoe ladang teboe. Menoeroet kabar[,] ia soedah tiga boelan disana. Jang menangkapnja politie dari Fort de Kock dan berhoeboeng dengan perkara tangkapan itoe, 7 orang penghoeloe dari Pintjoeran Toedjoeh soedah ditahan di Padang Pandjang. Kata…[Sinar]Sum[atra] agaknja sebab meréka itoe tertoedoeh menjemboenjikan pendjahat itoe.” Sedangkan “[k]awan Pakih Antok, jang bernama Boejoeng Poetih soedah ditangkap oléh militer di Sitjintjin. Roepanja Boejoeng Poetih soedah kelaparan, laloe poelang keroemah orang toeanja mintak nasi. Sedang ia makan[,] bapa[k]nja soedah memberi tahoekan kedatangan[nja] itoe kepada létnan Dennigshof jang ada di Sitjintjin itoe.” Sementara kawan Pakih Antok yang bernama “Boejoeng Gadang...beloem dapat ditangkap” (PP, No. 19, Tahoen V, 8 Maart 1927: 317 [Kroniek], merujuk Sinar Sumatra). Pada bulan Mei 1927, polisi berhasil menangkap Tan Maradjo yang juga terlibat dalam pembunuhan itu. Diberitakan pula bahwa“Kepala negeri Sitjintjin dengan bantoean militér soedah dapat menangkap Tan Maradjo, jaïtoe pembantoe jang teroetama dari Pakih Antok, pemboenoeh onderdistricthoofd Sitjintjin” (PP, No. 37, Tahoen V, 10 Mei 1927: 604 [Kroniek], merujuk Sinar Sumatra).

Pembunuhan terhadap Rantau gelar Bagindo Umar Ali sangat menyedihkan banyak orang. Majalah Kejawen, No. 51, Th.1, 23 Desember 1926, Waktu Jumadilakir, Tahun Wawu 1857:1293-1294 (foto berasal dari sumber ini) menyebut bahwa beliau adalah pribadi yang santun, adil dan disukai oleh masyarakat. PP No. 68, Tahoen IV, 27 August 1926:1553 [Kroniek], mengutip Deli Courant dan Java Bode, menyebutkan pula bahwa Bagindo Umar Ali adalah “seorang pegawai Negeri jang tjakap dan oleh karena ketjakapannja itoe, meskipoen beliau masih moeda, ditempatkan diond[er] Distr[rict] VII kota jang banjak kedapatan kaoem kominis lagi koerang aman itoe. Karena ‘alimnja oleh anak negeri beliau itoe amat dihormati.” Namun, orang komunis tentu menganggap wakil pemerintah seperti Bagindo Umar Ali dan golongan feodal yang bekerja sama dengan penjajah harus dibasmi dan diperangi.

Para pembunuh Bagindo Umar Ali kemudian diadili. Sebelumnya, satu perhimpunan yang bernama I.P.B – saya belum tahu ini singkatan dari apa – yang berkedudukan di Semarang sudah menggalang dana dengan membentuk ‘Banginda Oemar Alifonds’ guna membantu anak-istri almarhum Bagindo Umar Ali. Sampai tanggal 11 September 1926, “hoofdbestuur perhimpoenan I.P.B. di Semarang telah menerima oeang derma sedjoemlah f 591,32, oentoek keloerga t. ass. Demang Sitjintjin” (PP, No. 74-75, Tahoen IV, 17 September 1926:1777 [Kronek], merujuk DeLocomotief)Selanjutnya diberitakan: “[m]enoeroet keterangan dari hoofdbestuur I.P.B. di Semarang oeang derma jang diterimanja oentoek “Baginda Oemar Alifonds” itoe ada sedjoemlah f 11.911,22. Jang f 10.000, akan diserahkan pada p.t. Resident Soematera Barat oentoek keloearga marhoem t. Baginda Oemar Ali (ass. Demang Sitjintjin) dan keloearga meréka jang mendjadi koerban perosoehan kominis didaérah terseboet. Sisanja akan diserahkan pada p.t. Resident Solo, oentoek keloearga sersi-sersi dari Alg. Politie disana jang mati diboenoeh oleh kaoem kominis djoega” (PP, No.7, Tahoen V, 25 Januari 1927:101 [Kroniek], merujuk De Locomotief).

Apa yang dapat kita kesan dari kejadian ini adalah bahwa sifat administrasi binnenlands bestuur (BB) Pemerintah Kolonial Belanda pada masa lampau di Indonesia rupanya sangat 'solid'. Peristiwa lokal yang terkait dengan elemen BB yang terjadi di satu daerah (di luar Jawa) langsung menjadi perhatian di pusat (Jawa). Pembunuhan Asisten Demang Sicincin ini, sebuah nagari yang tidak begitu besar di Sumatra's Westkust, menuai simpati dari kalangan anggota BB di tempat-tempat lain.

Demikianlah, satu satu peristiwa sejarah yang pernah terjadi di nagari Sicincin yang kami kabarkan kembali kepada generasi masa kini. Semoga catatan ini bermanfaat bagi sejarawan kita dan pembaca Kompasiana pada umumnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun