Hingga paroh pertama abad ke-20 kebanyakan orang Indonesia masih kaku dan tegang seperti menghadapi elmaut jika dipotret. Berdiri di depan kamera menciptakan ketegangan, mungkin karena pada masa itu tukang potret harus bersembunyi di balik selembar kain hitam ketika membidikkan kameranya untuk mengurangi efek cahaya, seolah-olah mereka seperti hantu yang menakutkan yang sedang mengintip seseorang.
Kini, seperti dapat kita saksikan dengan mudah di baliho-baliho besar yang dipampangkan di jalan-jalan utama dan di pohon-pohon pelindung di kota-kota Indonesia, banyak potret diri memperlihatkan wajah-wajah yang kelimis, dengan senyum mengambang dan sumringah.
Tradisi fotografi di Indonesia, seperti dikatakan Karen Strassler dalam bukunya, Refracted Visions: Popular Photography and National Modernity in Java (2010), adalah sebuah ikonografi nasional melalui mana kita dapat melihat hasrat kuat bangsa Indonesia akan kemodernan. Akan tetapi seiring dengan itu teknologi fotografi juga digunakan oleh penguasa untuk mengamat-amati rakyatnya. Dalam Bab 3 buku itu, Karen menggambarkan bagaimana Rezim Orde Baru menggunakan pasfoto untuk mengidentifikasi setiap kawula sebagai salah satu cara untuk mengawasi (tindak-tanduk) mereka.
Kini, memajang potret diri sudah menjadi suatu kegilaan dan nyaris menjadi euforia, untuk tidak mengatakan sejenis penyakit psikologis baru, terutama di kalangan politikus dan pejabat publik. Setiap saat kita dapat melihat duplikat wajah seorang walikota, misalnya, dalam jumlah puluhan bahkan ratusan, dengan senyum yang nyaris mirip di setiap persimpangan jalan, di dinding-dinding kusam tembok kota, dan di spanduk-spanduk yang dipajang di depan surau-surau, sejak kita berangkat dari rumah ke tempat kerja di pagi hari sampai larut malam saat pulang ronda. Dalam gelap, hujan mentuyuh bersambung kilat dan petir, dan dalam panas menyengat, potret-potret diri tersebut terus mengumbar senyum kepada setiap orang yang (menyempatkan diri) memandangnya.
Potret-potret diri yang bentuknya sama dan sebangun itu, yang bermunculan dimana-mana, seperti kloning dari seseorang, mengepung diri, jiwa, dan meneror pikiran orang awam dari berbagai arah, menertawakan (ketololan) kita sebagai rakyat. Dan makin lama potret-potret seperti itu makin membiak bagai wereng, terutama pada waktu menjelang pemilihan anggota legislatif dan eksekutif, baik di tingkat pusat maupun daerah. Bermula dari jalan-jalan utama di kota-kota, kini potret-potret diri itu menyerbu ke jalan-jalan desa, kelurahan, dan korong-kampung, juga di dusun-dusun terpencil.
Mungkin kata ‘kloning’ tidak cukup tepat di sini, karena sesungguhnya potret-potret diri itu tidak persis mengkodifikasikan sosok-sosok pribadi yang diwakilinya. Hakikat potret-potret diri itu adalah kreasi, bukan reproduksi. Potret-potret diri itu homogen dalam beberapa hal: wajah yang licin tanpa jerawat, kulit yang kinclong dan cenderung putih seperti disamak, berkopiah beludru terbaru atau dengan gaya rambut rebah ke belakang tersiram minyak Sitakom, dan pakaian formal beraura modern yang digelantungi berbagai-macam simbol partai dan agama. Potret diri lelaki biasanya tampil dalam pakaian formal dengan jas dan dasi terbaru, atau baju koko dengan sarung bugis halus tersandang di pundak. Dan wanitanya juga memakai pakaian resmi yang terkesan modern, dengan liontin bersinar dan jilbab modis. Seperti kata Karen, potret-potret diri itu merefleksikan antusiasme orang Indonesia terhadap modernitas.
Dalam masyarakat kita yang sifat komunalitasnya masih tinggi, penampakan visual dianggap penting. Potret diri mewakili tubuh kasar untuk menyapa orang lain. Itulah sebabnya mengapa potret-potret diri tersebut cenderung memperlihatkan senyuman yang khas (lebih sering senyum kacang bogo dan senyum nabi), yang mungkin merepresentasikan senyuman yang paling manis dan simpatik dari subjek yang difoto atau, sebaliknya, mungkin senyuman kamuflase yang palsu dan dibuat-buat.
Paska tumbangnya Rezim Orde Baru, potret diri telah menyerbu ruang publik kita secara masif dan nyaris sudah menjalarkan virus epidemi ke otak para kawula. Sementara di ruang-ruang domestik seringkali masih tersisa potret-potret diri kusam yang mengabadikan masa lampau, jauh bertolak belakang dengan potret-potret diri yang dipajang di ruang-ruang publik itu. Kadang-kadang di dinding rumah-rumah tua masih kita temukan tergantung foto seorang ayah, ibu, atau foto keluarga dalam format hitam putih atau berwarna yang terkesan sederhana.
Kini, di media sosial, potret-potret diri yang bernuansa modern itu, terutama potret diri para politisi, telah dijadikan ajang olok-olok dan parodi. Rasa benci atau, sebaliknya, dukungan, diekspresikan lewat aksi ‘corat-coret’ terhadap potret-potret diri itu.
Duplikasi potret diri yang tanpa batas mungkin akan menurunkan nilai ekslusif subjek yang dipotret, mirip seperti produk budaya pop, seperti didiskusikan oleh Walter Benjamin dalam esainya “The work of art in the age of mechanical reproduction ” (1970) yang monumental itu. Lama-lama nilai subjek yang direpresentasikannya bisa turun menjadi (hanya) sejenis ‘sampah’.
Leiden, awal September 2016
* Diolah kembali dari esai dengan judul yang sama yang pernah terbit di harian Padang Ekspres, Minggu, 2 Maret 2014.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H