Bagi pelancong yang tidak berani menjalankan boat sewaan, mereka dapat berlayar di sepanjang kanal dengan naik boat besar seperti ini. (Foto dok. Suryadi)
Pelancong dari Magribi dan Hadramaut dan sekitarnya kelihatan lebih berani mencoba menjalankan boat. Mereka jelas punya remah-remah talenta kebaharian warisan dari Ibnu Batutah dan para pedagang Laut Merah dan Teluk Aden yang nun jauh di masa lampau, sebelum Vasco da Gama dan Huygen van Linschoten berhasil mencecahkan telapak kaki mereka di hangatnya pasir pantai Goa dan Kalikut, sudah bertukar tekstil dengan lada dan kapur barus di entrepot-entrepot pantai barat Sumatera seperti Pariaman, Barus, dan Kutaraja.
Ketika kami mulai berlayar, satu keluarga yang tampaknya berasal dari Timur Tengah berada di satu boat tak jauh di depan kami. Boat itu berjalan seperti seorang remaja Jakarta habis melahap sabu-sabu yang diimpor dari Cina, ‘terhuyung’ kesana-sini dan berkali-kali membentur 'tebing' di kiri-kanan kanal, dan menghantam sisi beberapa boat yang berpapasan dengannya.
Di sebuah persimpangan yang ramai, 'Titanic' sewaan keluarga Arab itu berputar-putar seperti orang terkena sakit sawan. Seorang Belanda yang sabar yang berada di salah satu boat yang ikut terjebak macet di persimpangan itu datang menolong, dan 'kekacauan' di persimpangan yang ramai itu pun segera terurai. Memang lain beratnya mengendalikan boat di kanal-kanal Negeri Belanda, lain pula ringannya menunggang onta di gurun pasir Sahara dan Arabia.
Di kanal dan di darat (pinggir kanal) penuh dengan para pelancong mancanegara. (Foto dok. Suryadi)
Setelah selesai berlayar, masih selama sejam lagi kami menyusuri tepian kanal-kanal desa Giethoorn dari darat. Betapa ramainya orang mengunjungi Giethoorn hari itu: kanal-kanal dan jalan-jalan di kedua sisinya disesaki turis-turis aneka warna dan gaya: dari yang bermata sipit sampai yang berkulit gelap dan terang, dari yang berbahasa Mandarin sampai Arab.Tempat-tempat penyewaan boat, kereta angin, dan restoran-restoran panen duit.
Giethoorn adalah sebuah desa kecil Belanda yang, karena penduduknya sangat kreatif, menjaga lingkungan desanya dengan baik, dan melestarikan kebudayaan asli warisan nenek moyangnya, sebagaimana terlihat dari rumah-rumah dan beberapa museum di sana yang tetap mempertahankan arsitektur tradisional Belanda, telah menjadi salah satu magnet pariwisata Negeri Kincir Angin. Setiap tahun, khususnya di musim panas, ribuan wisatawan mancanegara datang ke Giethoorn mengantarkan euro, pound, dollar, yen, yuan, won, ringgit, ....., dan juga rupiah.
Rumah-rumah Belanda dengan arsitektur tradisional seperti ini dapat dilihat di sepanjang kanal di desa Giethoorn. Interior dan bagian luar rumah-rumah itu sangat bersih dan tertata rapi. (Foto dok. Suryadi)
Setelah dua jam berlayar, 'Titanic' kami pun sampai kembali di 'pangkalan'. (Foto dok. Suryadi)
Kami sarankan, kepada mereka yang sedang berbulan madu, datanglah ke Giethoorn. Melayari kanal-kanal desa itu berdua dengan pasangan Anda mungkin akan dapat membuat putik cinta berkembang menjadi buah ranum dan selamanya manis. Kiranya tidak berlebihan jika Eka Tanjung dalam web
Serbalanda-nya menyebut Giethoorn sebagai tempat “wisata [yang] romantis dan ngangenin” (
lihat; dikunjungi 22-08-2016). Akan tetapi, siapa saja kami sarankan untuk berkunjung ke Giethoorn, sebuah desa Belanda yang tenang dan hijau, tempat Anda (dan keluarga) dapat 'berdayung Palinggam’ di kanal-kanalnya.
Leiden, Agustus 2016.
Suryadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya