Sahibul hikayat, pada suatu hari yang cerah-cerah berawan pada tanggal 16 Agustus lalu, kami pergi menukar-nukar pemandangan mata ke Giethoorn, sebuah desa Belanda (banget) di Provinsi Overijssel yang terletak di wilayah Belanda bagian agak ke utara. Giethoorn adalah salah satu desa tujuan wisata favorit di Belanda.
Desa Giethoorn dapat dicapai dengan kereta api dari Amsterdam atau dari lapangan terbang antarbangsa Schiphol. Sekedar maklumat bagi kawan-kawan dari dunia sebelah sono yang ingin berkunjung ke Giethoorn, dari bandar udara Schiphol, misalnya, Saudara bisa naik kereta api yang menuju ke destinasi terakhir Leeuwarden. Setelah melewati stasiun Amsterdam Sloterdijk, Duivendrecht, Almere Centrum, Lelystad Centrum, Zwolle, dan Meppel, maka sampailah 'ular kuning' di stasiun Steenwijk, satu stasiun yang sedikit agak besar sebelum stasiun Leeuwarden, destinasi terakhir.
Maka turunlah Saudara di Stasiun Steewijk itu. Kemudian pergilah Saudara ke stasiun bus Zwartsluis yang letaknya tidak jauh dari stasiun kereta Steenwijk. Naiklah bus nomor 70 di platform B. Dalam waktu 19 menit bus akan sampai di Halte Wanneperveen Blauwe Hand. Turunlah Saudara di sana, dan di seberang jalan sudah terlihat mulut desa Giethoorn.
Bila Anda hendak pergi ke Giethoorn dari bandara Schiphol atau Amsterdam, naiklah kereta api ke arah destinasi terakhir Leeuwarden, lalu turun di stasiun Steenwijk. (Foto dok. Suryadi)
Arkian, Desa Giethoorn, yang terkenal dengan sebutan "het Hollands Venetië in noordwest Overijssel", menjadi sangat terkenal dan dikunjungi oleh banyak pelancong mancanegara karena keunikan topografinya: desa itu 'dicabik-cabik' oleh kanal-kanal yang bersilang siur yang beberapa ujungnya bermuara di sebuah danau yang bernama Bovenwijde.
Pelancong dapat menyewa boat berkecepatan rendah yang digerakkan dengan mesin listrik yang tenaganya berasal dari accu/aki. Ini disengaja karena banyak pelancong mancanegara belum semahir orang Belanda dalam mengendalikan jalannya boat-boat sewaan mereka. Jadi, akan berbahaya kalau boat-boat itu dilengkapi dengan mesin tempel Yamaha berkecepatan tinggi. Sebaliknya, bagi orang Belanda, mengendalikan jalannya perahu, boat, jacht, atau kapal, seperti minum air putih saja.
Di mulut desa Giethoorn, boat-boat sewaan aneka warna sudah menunggu para pelancong. (Foto dok. Suryadi)
Kami pun menyewa sebuah boat dan alhamdulillah sang 'Kapten' dapat menjalankannya dengan cukup baik walaupun belum begitu pas bila terpaksa memundurkannya. Ini berkat kursus singkat selama tidak lebih dari dua menit yang selalu diberikan oleh petugas penyewaan boat kepada setiap penyewa sebelum boat dilayarkan.
Kami pun menyewa sebuah boat dan mulai 'mengeksplorasi' kanal-kanal di desa Giethoorn. (Foto dok. Suryadi)
Boat-boat sewaan yang sibuk hilir-mudik di kanal-kanal desa Giethoorn. (Foto dok. Suryadi)
Ketika sudah sampai di Danau Bovenwijde, 'Kapten Muda' Farel yang menyertai kami dan bertugas membaca peta rute pelayaran mengambil alih kemudi boat. Kami berlayar selama dua jam dengan sewa boat sebesar 60 euro (kalau datang lagi akan ada korting). Kami menelusuri kanal-kanal desa Giethoorn sampai ke Danau Bovenwijde, berhenti di sebuah ceruknya untuk makan siang di sebuah restoran pinggir danau, sebelum melanjutkan lagi pelayaran hingga sampai kembali di 'pangkalan'.
Boat sewaan kami sampai di Danau Bovenwijde. (Foto dok. Suryadi)
Berhenti di sebuah restoran di pinggir Danau Bovenwijde untuk makan siang. (Foto dok. Suryadi)
Sambil berlayar, kami melihat pemandangan yang indah, dan kami terkagum-kagum pada kepintaran orang Belanda menjadikan negerinya sumber uang dari pariwisata. D kanal-kanal dan danau hidup dengan bebas bebek, angsa, dan unggas liar lainnya. Desa kecil Giethoorn hari itu tidak hanya dipenuhi oleh turis-turis mancanegara, tapi juga para pelancong lokal dan regional.
Orang-orang hilir mudik, sendiri atau berombongan: yang berkodak berkodak juga, yang berlayar berlayar juga, yang letih berhenti di restoran mengisi perut sambil bercengkerama dengan suara seperti lebah buncah, yang lain ke luar masuk museum dan gereja tua.
Bebek-bebek liar berenang bebas di sela-sela boat, tak ada tangan-tangan usil yang mengganggu. (Foto dok. Suryadi)
Kebanyakan wisatawan dari Eropa menyewa boat dan mencoba menjalankannya. Sebaliknya, para pelancong dari Asia, seperti Cina, Jepang dan Korea, kecuali mungkin orang Indonesia dan mereka yang berasal dari Jazirah Arabia dan sekitarnya, tampaknya tidak berani menyewa boat, karena mereka tidak biasa menjalankan boat di air. Ini akan membuat mereka bikin 'kekacauan' di kanal-kanal yang relatif sempit itu, karena mereka akan menabrak boat-boat lain dan
mencla-mencle ke pinggir sana dan pinggir sini dari kanal-kanal itu.
Kebanyakan pelancong dari Asia Timur itu lebih suka naik boat besar yang dijalankan oleh pengemudi setempat di mana mereka bisa berlayar sambil minum dan menyantap makanan kecil. Harga tiket untuk naik boat besar itu tidak lebih dari 6,5 euro. Kami juga berjumpa dengan sebuah keluarga Indonesia yang juga menyewa boat. Tampaknya mereka betul-betul akan 'mengeksplorasi' Giethoorn seharian: mereka membawa bekal makan-minum yang cukup.
Bagi pelancong yang tidak berani menjalankan boat sewaan, mereka dapat berlayar di sepanjang kanal dengan naik boat besar seperti ini. (Foto dok. Suryadi)
Pelancong dari Magribi dan Hadramaut dan sekitarnya kelihatan lebih berani mencoba menjalankan boat. Mereka jelas punya remah-remah talenta kebaharian warisan dari Ibnu Batutah dan para pedagang Laut Merah dan Teluk Aden yang nun jauh di masa lampau, sebelum Vasco da Gama dan Huygen van Linschoten berhasil mencecahkan telapak kaki mereka di hangatnya pasir pantai Goa dan Kalikut, sudah bertukar tekstil dengan lada dan kapur barus di entrepot-entrepot pantai barat Sumatera seperti Pariaman, Barus, dan Kutaraja.
Ketika kami mulai berlayar, satu keluarga yang tampaknya berasal dari Timur Tengah berada di satu boat tak jauh di depan kami. Boat itu berjalan seperti seorang remaja Jakarta habis melahap sabu-sabu yang diimpor dari Cina, ‘terhuyung’ kesana-sini dan berkali-kali membentur 'tebing' di kiri-kanan kanal, dan menghantam sisi beberapa boat yang berpapasan dengannya.
Di sebuah persimpangan yang ramai, 'Titanic' sewaan keluarga Arab itu berputar-putar seperti orang terkena sakit sawan. Seorang Belanda yang sabar yang berada di salah satu boat yang ikut terjebak macet di persimpangan itu datang menolong, dan 'kekacauan' di persimpangan yang ramai itu pun segera terurai. Memang lain beratnya mengendalikan boat di kanal-kanal Negeri Belanda, lain pula ringannya menunggang onta di gurun pasir Sahara dan Arabia.
Di kanal dan di darat (pinggir kanal) penuh dengan para pelancong mancanegara. (Foto dok. Suryadi)
Setelah selesai berlayar, masih selama sejam lagi kami menyusuri tepian kanal-kanal desa Giethoorn dari darat. Betapa ramainya orang mengunjungi Giethoorn hari itu: kanal-kanal dan jalan-jalan di kedua sisinya disesaki turis-turis aneka warna dan gaya: dari yang bermata sipit sampai yang berkulit gelap dan terang, dari yang berbahasa Mandarin sampai Arab.Tempat-tempat penyewaan boat, kereta angin, dan restoran-restoran panen duit.
Giethoorn adalah sebuah desa kecil Belanda yang, karena penduduknya sangat kreatif, menjaga lingkungan desanya dengan baik, dan melestarikan kebudayaan asli warisan nenek moyangnya, sebagaimana terlihat dari rumah-rumah dan beberapa museum di sana yang tetap mempertahankan arsitektur tradisional Belanda, telah menjadi salah satu magnet pariwisata Negeri Kincir Angin. Setiap tahun, khususnya di musim panas, ribuan wisatawan mancanegara datang ke Giethoorn mengantarkan euro, pound, dollar, yen, yuan, won, ringgit, ....., dan juga rupiah.
Rumah-rumah Belanda dengan arsitektur tradisional seperti ini dapat dilihat di sepanjang kanal di desa Giethoorn. Interior dan bagian luar rumah-rumah itu sangat bersih dan tertata rapi. (Foto dok. Suryadi)
Setelah dua jam berlayar, 'Titanic' kami pun sampai kembali di 'pangkalan'. (Foto dok. Suryadi)
Kami sarankan, kepada mereka yang sedang berbulan madu, datanglah ke Giethoorn. Melayari kanal-kanal desa itu berdua dengan pasangan Anda mungkin akan dapat membuat putik cinta berkembang menjadi buah ranum dan selamanya manis. Kiranya tidak berlebihan jika Eka Tanjung dalam web
Serbalanda-nya menyebut Giethoorn sebagai tempat “wisata [yang] romantis dan ngangenin” (
lihat; dikunjungi 22-08-2016). Akan tetapi, siapa saja kami sarankan untuk berkunjung ke Giethoorn, sebuah desa Belanda yang tenang dan hijau, tempat Anda (dan keluarga) dapat 'berdayung Palinggam’ di kanal-kanalnya.
Leiden, Agustus 2016.
Suryadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya