Mohon tunggu...
Suryadi
Suryadi Mohon Tunggu... -

Saya menulis dengan sikap rendah hati. Saya hanya berharap dari apa yang saya tulis, orang lain akan beroleh manfaat, walau mungkin hanya secuil. Dan saya berharap dari manfaat yang diperoleh orang lain dari tulisan saya itu, Tuhan Yang Maha Kuasa akan berkenan membalasnya dengan menunjukkan jalan kebenaran dalam hidup saya. (Personal page: http://www.universiteitleiden.nl/en/staffmembers/surya-suryadi).

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kasus kewarganegaraan Arcandra Tahar & Proyek Diaspora Indonesia

21 Agustus 2016   18:23 Diperbarui: 24 Agustus 2016   17:12 2002
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kewarganegaraan, karena satu dan lain alasan, mungkin dapat ditukar, kebangsaan kemana akan dibeli? (Sumber: Foto dok. Suryadi)

Pemberhentian dengan hormat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada tanggal 27 Juli 216 masih ramai dibicarakan masyarakat Indonesia. Berbagai pendapat seputar dirinya masih menjadi bahan gosip dan gunjingan hangat di media, baik media cetak dan elektronik maupun media sosial.

Kini, berbagai pro-kontra dan tuduhan kepada Arcandra Tahar – sejak dari agen Yahudi sampai kepada pengkhianat bangsa, sejak dari manusia oportunis sampai kepada orang yang nasionalismenya dan kejujurannya diragukan, lengkap dengan nada-nada yang tendensius – melebar ke soal ke(tidak)mungkinan baginya untuk memperoleh kembali kewarganegaraan Indonesia.

Di tengah ancaman kehilangan kewarganegaraan (stateless), karena paspor Amerika Arcandra dicabut, sementara kewarganegaraan Indonesianya dipermasalahkan, tokoh Muda Minangkabau Andre Rosiade muncul dengan gagasan terobosan: bahwa Presiden Jokowi sebenarnya dapat segera melakukan proses naturalisasi kewarganegaraan Indonesia Arcandra dengan menggunakan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2016 tentang kewarganegaraan Repubublik Indonesia.

Dalam pasal itu dinyatakan bahwa orang asing yang telah berjasa kepada Republik Indonesia atau dengan alasan kepentingan negara, dapat diberi kewarganegaraan Indonesia oleh presiden setelah memperoleh pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia (lihat; Link  diakses 19-08-2016). Arcandra Tahar dinilai memenuhi persyaratan ini, apalagi dengan pertimbangan bahwa ia adalah putra Indonesia sendiri dan ia diundang oleh Presiden Jokowi pulang ke tanah air untuk mengabdikan diri membangun bangsa dan negara (sebelum mendapat masalah karena memiliki paspor ganda).

Namun, pengamat politik Ikrar Nusa Bhakti berpendapat bahwa proses naturalisasi Arcandra rumit lantaran kasusnya penuh dengan muatan politik. Apalagi sejak semula Arcandra dinilai tidak berterus terang kepada media soal kewarganegaraannya.

Jika dari awal dia mengaku sudah memiliki paspor Amerika, mungkin keadaannya akan jadi lain, demikian Ikrar. Oleh karena itu, Ikrar memprediksikan bahwa jikapun proses naturalisasi Arcandra diusulkan dan diproses oleh pemerintah, persetujuan DPR tentang hal itu mungkin memakan waktu panjang.

Proses naturalisasi Arcandra tidak semudah pemain sepakbola Ivan Bachdim. Apalagi, kandidat-kandidat yang sudah disebut-sebut akan menduduki posisi Menteri ESDM yang ditinggalkan Arcandra berasal dari legislatif pula m.jpnn.com-; diakses 20-08-2016).

Mementahkan proyek Pemerintah untuk menghimpun diaspora Indonesia?

Dalam esai ini, saya ingin mendiskusikan kasus Arcandra Tahar dalam kaitannya dengan upaya Pemerintah Indonesia memanfaatkan diaspora Indonesia.

Sebagaimana telah sama kita ketahui, sejak lima tahun terakhir Pemerintah berupaya menghimpun diaspora Indonesia di seluruh dunia dalam rangka memanfaatkan tenaga dan pengetahuan mereka untuk membangun tanah air. Proyek ini dimulai pada tahun-tahun terakhir masa kepresidenan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan sekarang dilanjutkan oleh Pemerintahan Presiden Jokowi.

Untuk tujuan ini, Pemerintah Republik Indonesia melalui Departemen Luar Negeri, bekerjasama dengan berbagai instansi terkait dan pihak-pihak swasta, mencoba menghimpun diaspora Indonesia dan mempertemukan mereka dalam forum kongres.

Sampai sekarang sudah tiga kali Kongres Diaspora Indonesia diadakan: Kongres Diaspora Indonesia I diselenggarakan di Long Angeles, Amerika Serikat, pada 6-8 Juli 2012; Kongres Diaspora Indonesia II diselenggarakan di Jakarta pada 18-20 Agustus 2013; dan Kongres Diaspora Indonesia III juga digelar di Jakarta pada 12-14 Agustus 2015. Iven ini akan dilanjutkan secara periodik pada tahun-tahun mendatang.

Kongres Diaspora Indonesia 1, Los Angeles, 6-8 Juli 2012 (Sumber: http://kokiers.com)
Kongres Diaspora Indonesia 1, Los Angeles, 6-8 Juli 2012 (Sumber: http://kokiers.com)
Dalam sambutannya pada pembukaan Kongres Diaspora Indonesia I, Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat Dino Patti Djalal (sekarang menjadi Ketua Dewan Diaspora Indonesia Global) mengatakan: “Kongres Diaspora Indonesia bertujuan untuk mendorong masyarakat diaspora Indonesia dimanapun mereka berada agar dapat merapat untuk menjadi satu komunitas besar dan membangun kekuatan yang riil” (beritasatu.com; dikunjungi 19-08-2016). Kekuatan yang riil yang dimaksud di sini adalah memaksimalkan seluruh potensi yang dimiliki oleh diaspora Indonesia (ekonomi, politik, dan ilmu pengetahuan) untuk dimanfaatkan semaksimal mungkin dalam pembangunan bangsa dan negara Indonesia.

Diaspora Indonesia termasuk sepuluh besar di dunia. Jumlah mereka diperkirakan ada sekitar 8 juta orang, kurang lebih 3% dari total penduduk Indonesia.

Pemerintah, sejak tahun-tahun terakhir masa pemerintahan Presiden SBY, mulai menyadari pentingnya diaspora Indonesia untuk dimanfaatkan dan diajak bekerja sama membangun negara Indonesia. Hal ini memang agak terlambat dibanding India, misalnya, yang sudah lama memanfaatkan para diasporanya untuk membangun negara terbesar di Asia Selatan itu. Begitu juga dengan Cina, Vietnam, Korea Selatan, dll.

Kongres Diaspora Indonesia 2, Jakarta, 18-20 Agustus 2013 (Sumber: http://www.kbrikualalumpur.org)
Kongres Diaspora Indonesia 2, Jakarta, 18-20 Agustus 2013 (Sumber: http://www.kbrikualalumpur.org)
Akan tetapi, dengan munculnya kasus Arcandra Tahar, timbul berbagai pendapat mengenai diaspora Indonesia. Jika mengikuti berbagai berita di media cetak, elektronik, dan media sosial, ada kesan sinisme terhadap diaspora Indonesia menguat.

Ada yang berkata: mereka tidak penting-penting amat, masih banyak tenaga dalam negeri yang lebih hebat; nasionalisme mereka dipertanyakan; mereka hanya akan membawa masalah, menjadi orang-orang pengeluh dan minta dilayani dengan fasilitas yang lebih baik jika sudah dipanggil pulang ke tanah air; dan banyak lagi pendapat-pendapat negatif lainnya.

Pandangan seperti itu merefleksikan kecurigaan pihak-pihak tertentu di dalam negeri terhadap diaspora Indonesia, yang boleh jadi disebabkan oleh ketertutupan dan kepicikan pikiran dalam memaknai hidup berbangsa dan bernegara.

Sudah lama pula muncul isu bahwa seringkali status quo di dalam negeri merasa terganggu dengan kepulangan diaspora Indonesia lantaran mereka membawa inovasi-inovasi dan efisiensi dalam administrasi, kebijakan, dan juga keuangan di lembaga-lembaga tempat mereka dipekerjakan.

Dalam kaitannya dengan hal ini, kita juga telah membaca di media tentang pendongkelan Arcandra Tahar dari jabatannya yang dihubung-hubungkan dengan gebrakannya selama minggu pertama dan kedua menjabat sebagai menteri ESDM, yaitu mengefisiensikan nilai kontrak beberapa proyek di bidang migas, yang konon membuat beberapa pihak yang selama ini diuntungkan merasa terancam.

Kongres Diaspora Indonesia 3, Jakarta, 12-14 Agustus 2015. (Sumber: http://www.merdeka.com)
Kongres Diaspora Indonesia 3, Jakarta, 12-14 Agustus 2015. (Sumber: http://www.merdeka.com)
Terlepas dari perbantahan yang terus berlanjut seputar Arcandra dan diaspora Indonesia, sebagaimana dapat dikesan dari berita-berita yang berseliweran di media (sosial), Presiden Jokowi tampaknya tetap meneruskan rencana beliau semula: memanfaatkan diaspora Indonesia untuk membangun bangsa dan negara.

Demikianlah umpamanya, Presiden Jokowi bermaksud memanggil pulang 74 profesor Indonesia yang tinggal di Amerika Serikat. Presiden meminta bantuan mereka untuk memacu pembangunan di Papua. Namun, segera pula muncul komentar-komentar yang bernada ketidaksetujuan. Guru Besar Hukum Internasional UI, Hikmanto Juwana, misalnya, mengingatkan Presiden Jokowi untuk tidak buru-buru memanggil pulang para profesor itu. Menurutnya orang kampus yang hanya terbiasa dengan penelitian murni tidak selalu cocok dan bisa bekerja dalam birokrasi pemerintahan (oke.zone.com; dikunjungi 20-08-2016).

Kemarin, seorang teman di Amsterdam menghubungi saya untuk meminta kesediaan saya dimasukkan dalam daftar diaspora Indonesia di Belanda. Teman tersebut diminta bantuannya oleh KBRI Den Haag untuk mendata diaspora Indonesia yang bergelar master dan doktor yang bekerja di Belanda.

Permintaan KBRI ini tentu terkait dengan program yang sudah dicanangkan oleh Presiden Jokowi untuk memanfaatkan dan mengajak diaspora Indonesia membangun bangsa dan negara kita. Apa yang dilakukan oleh KBRI Den Haag, dan tentunya juga KBRI-KBRI di negara-negara lain, merupakan realisasi dari salah satu rekomendasi dalam Kongres Diaspora Indonesia I, yaitu membentuk Desk Diaspora di Kementerian Luar Negeri yang eksekusinya dilakukan oleh kedutaan-kedutaan kita di luar negeri.

Soal dwikewarganegaraan

Kasus Arcandra Tahar telah memunculkan lagi wacana seputar dwikewarganegaraan (kewarganegaraan ganda) yang dulu sudah pernah sampai ke DPR tapi kemudian tak jelas kelanjutannya. Sebenarnya isu ini sudah muncul pula sebagai salah satu rekomendasi dalam Kongres Diaspora Indonesia II, karena pertimbangan bahwa di antara diaspora Indonesia yang tinggal di berbagai negara, banyak yang sudah berganti kewarganegaraan, seperti Arcandra Tahar, selain mereka yang memegang green card.

Dalam tahun-tahun terakhir ini Pemerintah sudah mensosialisasikan kembali wacana mengenai dwikewarganegaraan ini. Beberapa waktu yang lalu di Belanda, misalnya, diadakan diskusi mengenai hal ini yang difasilitasi oleh KBRI Den Haag. Akan tetapi, dengan munculnya kasus Arcandra Tahar, tampaknya wacana ini menjadi isu hangat yang menuai pro-kontra di tanah air.

Dari seliweran diskusi dan pergunjingan di media mengenai isu ini, dapat dikesan adanya semacam tuduhan bahwa kasus Arcandra dimunculkan oleh Pemerintah untuk memancing reaksi publik mengenai kemungkinan bagi Indonesia membuat perjanjian dwikewarganegaraan dengan negara-negara tertentu (dalam hal ini langsung dihubungkan dengan Cina; lihat antara lain: http://www.pos-metro.com/2016/08/uu-dwi-kewarganegaan-disahkan-china.html; dikunjungi 21-08-2016).

Ini jelas berkaitan juga dengan kedatangan banyak pekerja ilegal asal Cina di Indonesia akhir-akhir ini. Ada yang berpendapat bahwa jika sampai Pemerintah membuat perjanjian dwikewarganegaraan dengan Cina (atau negara-negara lain), maka hal itu dapat mengancam kedaulatan Indonesia.

Mungkin disebabkan oleh faktor sejarah (karena lama dijajah oleh bangsa asing), tampaknya Indonesia sulit membuka peluang untuk membuat perjanjian dwikewarganegaraan dengan negara-negara tertentu, walau dengan negara-negara sahabat sekalipun. Orang Indonesia sangat sensitif dan gampang curiga terhadap isu dwikewarganegaraan ini.

Orang mungkin lupa bahwa sebenarnya Pemerintah Indonesia pernah membuat perjanjian dwikewarganegaraan dengan dengan Republik Rakyat Tiongkok (sekarang Republik Rakyat Cina) pada tahun 1955, di masa Pemerintahan Presiden Sukarno (lihat: niadilova.wordpress.com; dikunjungi 19-08-2016).

Jangan dianggap sebagai musuh

Saya setuju dengan pendapat Ketua Dewan Daspora Indonesia Global Dino Patti Djalal dalam artikelnya di Media Indonesia (Sabtu, 20 Agustus 2016:6) bahwa diaspora Indonesia mengandung potensi ekonomi yang besar. Sebagai gambaran, mengutip Dino: “Dari jumla [6 juta orang diaspora Indonesia yang memegang paspor WNI], 2 juta adalah TKI yang secara konsisten menyumbang 130 trilyun rupiah lebih ke tanah air – dan dikirim langsung ke desa dan keluarga mereka sehingga dampaknya sangat riil di lapangan.Jumlah devisa TKI sendiri lebih besar dari seluruh jumlah investasi asing di Indonesia.” 

Kini Presiden Jokowi menyadari bahwa di samping sumbangan ekonomi langsung diaspora Indonesia melalui kiriman para TKI itu, juga ada potensi besar sumbangan pengetahuan yang berasal dari diasporan Indonesia yang terdidik yang bekerja di berbagai negara asing yang belum dimanfaatkan secara maksimal oleh Pemerintah Indonesia untuk membangun bangsa dan negara Indonesia.

Oleh sebab itu, program Pemerintahan Presiden Jokowi mengenai diaspora ini patut dudukung oleh semua pihak di dalam negeri. Kecurigaan-kecurigaan yang tak berdasar mengenai diaspora Indonesia perlu dihindarkan. Seperti dikatakan oleh Dino Patti Djalal dalam artikelnya yang sudah disebut di atas, nasionalisme diaspora Indonesia tidak usah diragukan. Walau banyak di antara mereka yang sudah menjadi warga negara asing (WNA), tapi hal itu tidak mengurangi kecintaan mereka kepada negara Indonesia, tanah air mereka yang sesungguhnya.

Mungkin banyak kalangan di tanah air belum pernah melihat dan merasakan betapa meriahnya perayaan peringatan hari kemerdekaan Indonesia di kedutaan-kedutaan Indonesia di luar negeri: para diaspora Indonesia, dengan tidak memandang asal sukubangsa dan agama, baik mereka yang sudah menjadi WNI atau yang memegang green card, termasuk pula orang asing yang menjadi suami/istri mereka, berbondong-bondong datang ke kedutaan kita, lengkap dengan pakaian yang berciri Indonesia (seperti batik), untuk merayakan peringatan hari kemerdakaan Republik Indonesia tercinta.

Saya kira sudah saatnya semua pihak membuang sikap curiga yang tidak beralasan terhadap diaspora Indonesia. Mari kita bangun bangsa dan negara Indonesia dengan bergandeng tangan bersama, menghimpun semua potensi dan kekuatan yang ada, baik yang ada di dalam maupun di luar negeri. Meminjam ungkapan Minangkabau, tempat saya secara etnisitas berasal dan dilahirkan, bagi diaspora Indonesia, “negara tak dapat dijual, kebangsaan tak dapat dipindah”. Sekali terlahir sebagai bangsa Indonesia, selamanya tetap Indonesia.

Dr. Suryadi

Diaspora Indonesia di Belanda, dosen dan peneliti Universiteit Leiden 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun