Mohon tunggu...
Suryadi
Suryadi Mohon Tunggu... -

Saya menulis dengan sikap rendah hati. Saya hanya berharap dari apa yang saya tulis, orang lain akan beroleh manfaat, walau mungkin hanya secuil. Dan saya berharap dari manfaat yang diperoleh orang lain dari tulisan saya itu, Tuhan Yang Maha Kuasa akan berkenan membalasnya dengan menunjukkan jalan kebenaran dalam hidup saya. (Personal page: http://www.universiteitleiden.nl/en/staffmembers/surya-suryadi).

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Hikayat Arcandra Tahar dan Charles Tambu

16 Agustus 2016   06:54 Diperbarui: 20 Agustus 2016   00:49 3986
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Haji Agus Salim, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, dan Charles Tambu, Konsul Jenderal Republik Indonesia di Manila, dalam sebuah pertemuan, 1949 (Sumber: Madjalah Merdeka, No.43, Th. II, 22 Oktober 1949:5)

Akhirnya ‘mempelai’ yang belum lama naik pelaminan itu hanya menikmati bulan madu singkat: tak lebih dari 20 hari. Presiden Joko Widodo resemi memberhentikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang baru, Arcandra Tahar, yang beliau lantik dalam Reshuffle jilid 2 Kabinet Kerja, Rabu, 27 Juli 2016 lalu.

Sebagaimana telah sama kita ketahui, Arcandra telah diterpa isu seputar status kewarganegaraannya. Pengganti Sudirman Said yang lama bermukim di Amerika serikat itu terbukti pernah memegang paspor Amerika. Dengan begitu, Arcandra dinilai memiliki cacat hukum ketika diangkat sebagai menteri dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo, sebab Indonesia tidak memiliki perjanjian kewarganegaraan ganda dengan USA. Arcandra (atau Presiden Joko Widodo yang menunjuknya sebagai Menteri ESDM) dituduh telah melanggar Undang-undang No. 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan dan Undang-undang No. 39 tahun 2008 tentang kementerian negara.

Arcandra Tahar, mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kabinet Kerja. (Sumber: bisnis.liputan6.com)
Arcandra Tahar, mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kabinet Kerja. (Sumber: bisnis.liputan6.com)
Entah siapa yang mula-mula menghembuskan isu mengenai status kewarganegaraan Arcandra itu. Hanya dalam hitungan jam isu ini telah menyebar kemana-mana, dibungkus dengan aneka gosip dan celotehan yang lalu lalang bersimpang siur di media sosial. Para lawan politik Presiden Joko Widodo, juga mereka yang bersembunyi dalam tubuh pemerintahannya sendiri, langsung menyerang Arcandra tanpa ampun. Masyarakat umum dan media pun tidak ketinggalan memperdebatkannya. Akhirnya Presiden Joko Widodo bertindak: Arcandra diberhentikan dari jabatannya sebelum dapat bekerja dan membuktikan kemampuan dirinya.

PASPOR. Itulah yang telah membuat Arcandra terpental dari kursi jabatan prestisius yang baru dua minggu lebih sedikit didudukinya. Paspor, sekeping buku saku tipis yang ajaib itu telah menjadi ‘pedoman’ yang ganjil untuk menentukan identitas dan nasionalisme seseorang. Dengan buku kecil yang aneh itu, derajat manusia diklasifikasikan. Disadari atau tidak, buku kecil yang disebut paspor itu mengandung tenaga rasisme.

Arcandra, putra Indonesia kelahiran Padang, yang ingin mengabdi kepada tanah tumpah darahnya sendiri, jadi terhalang oleh identitas yang dilekatkan kepadanya melalui buku kecil aneh yang disebut paspor itu. Berbagai tuduhan segera dilekatkan kepada dirinya: antek-antek Amerika, orang Minangkabau yang nasionalismenya diragukan, pembohong, pengkhianat negara, dan lain-lain.

Arcandra mungkin satu di antara banyak diaspora Indonesia yang bersedia pulang untuk membangun negaranya. Akan tetapi negerinya sendiri terlalu curiga kepada orang-orang seperti dirinya. Politik Indonesia sudah seperti dunia koboi: para politisi saling jegal untuk mengamankan kepentingan sendiri dan kelompoknya. Makin lama makin jelas bahwa mereka tidak memikirkan rakyat. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang ‘autis’ berdasi yang berlomba-lomba memperkaya diri sendiri.

Begitulah, Arcandra harus pergi karena ulah sekeping paspor yang telah melekatkan berbagai identitas kepada dirinya. Ia harus angkat koper, pergi menjauh dari kemaruk politik Indonesia yang makin tidak berkeruncingan. 

Nasib Arcandra sangat bertolak belakang dengan nasib Charles Tambu (1907-1965), diplomat Indonesia di awal kemerdekaan. Bila Arcandra ditolak oleh negerinya sendiri karena sebuah paspor Amerika, Tambu justru bisa menjadi representatif pemerintah Indonesia dalam diplomasi internasional walaupun ia secara keturunan bukan bangsa Indonesia asli.

Charles Tambu, Konsul Jenderal Republik Indonesia di Manila, 1949-1953. (Sumber: Madjalah Merdeka, No. 43, Th. II, 22 Oktober 1949: sampul depan)
Charles Tambu, Konsul Jenderal Republik Indonesia di Manila, 1949-1953. (Sumber: Madjalah Merdeka, No. 43, Th. II, 22 Oktober 1949: sampul depan)
Charles Tambu adalah seorang lelaki berdarah Tamil dari orang tua yang merupakan imigran dari Sri Lanka. Akan tetapi ia sangat bersimpati kepada perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. “Charles Tambu: Turunan asing tapi djiwanja Indonesia”, demikian tulis Madjalah Merdeka, No. 43, Th. II, 22 Oktober 1949:4. Walau bukan berdarah Indonesia, walau asalnya jauh dari Ceylon sana, Tambu telah membela nama Indonesia di berbagai forum internasional, sejak dari New York sampai New Delhi, sejak dari Bangkok sampai Kuala Lumpur. Simpati Tambu terhadang bangsa Indonesia dan sokongan moral dan pengetahuan yang ia berikan bagi perjuangan bangsa Indonesia, telah menggugah hati Presiden Sukarno untuk memberinya paspor Indonesia. Selepas pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda tahun 1949, Tambu ditunjuk oleh Presiden Sukarno menjadi Konsul Jenderal Indonesia di Manila sampai 1953.

Haji Agus Salim, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, dan Charles Tambu, Konsul Jenderal Republik Indonesia di Manila, dalam sebuah pertemuan, 1949 (Sumber: Madjalah Merdeka, No.43, Th. II, 22 Oktober 1949:5)
Haji Agus Salim, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, dan Charles Tambu, Konsul Jenderal Republik Indonesia di Manila, dalam sebuah pertemuan, 1949 (Sumber: Madjalah Merdeka, No.43, Th. II, 22 Oktober 1949:5)
Riwayat Charles Tambu dan sumbangsihnya terhadap Republik Indonesia antara lain dinukilkan dalam Madjalah Merdeka, No. 43, Th. II, 22 Oktober 1949:4-5. Lihat juga: http://www.loka-majalah.com/terpikat-revolusi-charles-tambu-melawan-kolonialisme/ (dikunjungi 15-8-2016).

Delegasi Indonesia di PBB, Lake Success, Agustus 1947: Haji Agus Salim, St. Sjahrir, Sudjatmoko dan Charles Tambu. (Sumber: http://www.loka-majalah.com)
Delegasi Indonesia di PBB, Lake Success, Agustus 1947: Haji Agus Salim, St. Sjahrir, Sudjatmoko dan Charles Tambu. (Sumber: http://www.loka-majalah.com)
Delegasi Indonesia di PBB, New York, 1947: St. Sjahrir, Haji Agus Salim, Sumitro Djojohadikusumo, Sudjatmoko, dan Charles Tambu. (Sumber: http://www.idlethink.wordpress.com)
Delegasi Indonesia di PBB, New York, 1947: St. Sjahrir, Haji Agus Salim, Sumitro Djojohadikusumo, Sudjatmoko, dan Charles Tambu. (Sumber: http://www.idlethink.wordpress.com)
Apa yang hendak saya katakan adalah bawah kisah Charles Tambu memberi gambaran bahwa Republik Indonesia tampak lebih dewasa di usia mudanya dulu di tahun 1940an dan 1950an ketimbang sekarang. Identitas, kebangsaan, nasionalisme di zaman yang heroik itu tidak diukur melalui sekeping buku tipis yang disebut paspor

Sebuah ironi yang menyedihkan memang. Di tahun 1940an, Presiden Sukarno, dengan otoritas politik yang ada pada dirinya, langsung menerbitkan paspor Indonesia untuk Charles Tambu, seorang anak imigran yang berasal dari Sri Lanka, yang pernah diejek oleh Belanda sebagai "seorang tambi jang lari dari Singapura, kemudian bercollaborasi dengan Djepang, lalu mendjadi kaki tangan Republik Sukarno-Hatta...” (Madjalah Merdeka, No. 43, Th. II, 22 Oktober 1949: 4), yang bersimpati sepenuh hati dan jiwa kepada perjuangan kemerdekaan Indonesia. Kini di tahun 2016, menjelang peringatan 71 tahun kemerdekaan Republik Indonesia, seorang Indonesia asli seasli-aslinya, yang asal suku, tanggal dan tempat kelahirannya begitu jelas (di Sumatera Barat), yang memiliki niat luhur untuk membangun negerinya sendiri, DITOLAK oleh bangsanya sendiri, hanya karena ia (pernah) memiliki paspor Amerika, negeri tempat ia merantau dan menuntut ilmu, yang mungkin dimilikinya dengan alasan-alasan praktis demi memudahkan urusan hidupnya dan keluarganya sehari-hari jauh di rantau orang, tempat ia dan keluarganya sudah cukup lama tinggal. 

Pemerintah India dan Israel menerima para diasporanya yang ingin membangun negerinya sendiri, apapun jenis dan warna paspor mereka, tanpa niat mempersulit anak bangsanya yang merantau di luar negeri yang berniat membangun negeri mereka. Hal-hal teknis birokratis seperti yang dialami oleh Arcanda Tahar sebenarnya dapat diatasi oleh pemimpin negerinya yang memangginya pulang, yang tentu saja memiliki ororitas dan kuasa untuk melakukannya. Kasus Arcandra berpotensi mementahkan upaya-upaya pemerintah yang sejak beberapa tahun terakhir ini berusaha menghimpun para diaspora Indonesia (sudah tiga kali pertemuan internasional diadakan untuk tujuan ini: di Los Angeles (6-8 Juli 2012), Jakarta (18-20 Agustus 2013),  dan di Jakarta (12-14 Agustus 2015) dalam rangka mengajak mereka bersama-sama membangun bangsa dan negara Indonesia. Kasus Acandra ini mungkin membuar mereka yang suda optimis menjadi pesimis atau ragu-ragu lagi.

Lepas dari semua itu, apa yang dialami oleh Arcandra agaknya menunjukkan bahwa bangsa Indonesia makin lama makin ‘kerdil’ cara berpikirnya.

Leiden, sehari menjelang peringatan kemerdekaan Republik Indonesia ke-71.

Suryadi

Universiteit Leiden, Belanda

http://www.universiteitleiden.nl/en/staffmembers/surya-suryadi 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun