Mohon tunggu...
Suryadi
Suryadi Mohon Tunggu... -

Saya menulis dengan sikap rendah hati. Saya hanya berharap dari apa yang saya tulis, orang lain akan beroleh manfaat, walau mungkin hanya secuil. Dan saya berharap dari manfaat yang diperoleh orang lain dari tulisan saya itu, Tuhan Yang Maha Kuasa akan berkenan membalasnya dengan menunjukkan jalan kebenaran dalam hidup saya. (Personal page: http://www.universiteitleiden.nl/en/staffmembers/surya-suryadi).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Refleksi #2: Perut

26 Juli 2016   09:51 Diperbarui: 1 Agustus 2016   03:12 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendek kata, usus besar dan usus kecil dalam perut manusia tak pernah diberi kesempatan beristirahat. Bagi Anda yang sudah berkeluarga, sesekali kosongkanlah pikiran Anda dari pengaruh dunia maya, lalu tempelkan telinga Anda di perut pasangan Anda, di tengah malam hening menjelang dinihari. Maka dari dalam perut istri Anda akan mendengar bunyi berisik ‘mesin giling’ yang tak henti mengeluarkan bunyi kriak-kriuk.

Barangkali itulah hikmat puasa di kalangan umat Islam di mana selama sebulan nafsu mengisi perut sedikit dihambat. Puasa jelas mengurangi beban berat perut yang mengalami rodi selama hidup manusia. Hakikatnya, sebagaimana disebutkan oleh agama Muhammad S.A.W. itu, adalah ‘melawan nafsu’. Namun hal itu juga mungkin dimaksudkan agar usus manusia yang bagai mesin giling dan tak pernah berhenti bekerja itu dapat menjadi sedikit lebih rileks. Namun, begitu Lebaran datang, perut manusia kembali dijejali dengan tugas yang lebih berat: nafsu makan jadi meningkat lagi. Perut manusia kembali menjalani rodi yang lebih keras lagi.

Di zaman modern ini, banyak orang berjuang mengecilkan perut mereka. Untuk itu berbagai macam cara dan ikhtiar ditempuh manusia: berolah raga, minum obat pelangsing, diet, dan bahkan memuntahkan apa yang sudah dimakan. Banyak yang gagal, sedikit yang berhasil. Entah berapa banyak uang yang dihabiskan untuk memelihara bentuk perut supaya tetap langsing dan terlihat indah-aduhai. Pusat kebugaran dan indoorsport yang tumbuh di kota-kota diserbu oleh lelaki dan perempuan yang ingin tetap tampil prima, terutama pada area perut.

Kaum hawa adalah makhluk yang paling pusing menghadapi pembuncitan dan penggelambiran perut. Bila bagian tubuh yang lain dipaksa tetap menggelembung (dengan menyumbatkan silikon ke dalamnya) sambil sia-sia melawan penuaan, perut justru ingin dikempiskan. Maka dunia medis dan kecantikan pun berlomba mencari keuntungan. Banyak wanita melakukan operasi sedot lemak yang bermastautin di perut, dan berbagai upaya lainnya, baik yang mungkin maupun yang hampir mustahil, mereka lakukan. Akan tetapi perut-perut yang sudah terlanjur mengembung dan menggelambir itu memberikan perlawanan: ia tak tidak begitu mudah dikempiskan.

Tapi marilah kita memikirkan hal yang lebih jauh di balik wujud fisik perut manusia. Bayangkanlah jika perut manusia selama bertahun-tahun diisi dengan makanan yang diperoleh dengan cara tak halal. Katakanlah seorang koruptor atau pencuri, yang mengisi perutnya dan perut anak-istrinya dengan makanan yang dibeli dengan uang hasil korupsi atau hasil curian. Itu berarti bahwa berhari-hari, berbulan-bulan, dan bertahun-tahun perutnya dan perut anak-istrinya diisi dengan ‘makanan kotor’. Dan sebagaimana telah sama kita ketahui, makanan itu diproses oleh usus besar dan usus kecil di dalam perut, lalu menjadi darah daging yang membentuh tubuh manusia. Dapat kita renungkan: manusia apakah yang akan hadir dengan darah daging yang berasal dari ‘makanan kotor’ itu? Betapa hinanya seorang kepala keluarga yang menghidupi anak-istrinya dengan uang haram.

Perut pulalah yang mempengaruhi tabiat manusia. Pujangga Melayu Raja Ali Haji telah mengingatkan ini dalam salah satu bait Gurindam Dua Belas ciptaan beliau, sebagaimana telah dikutip di atas: “Apabila perut terlalu penuh, keluarlah fiil yang tiadasenonoh’. Rangkaian kata bijak Raja Ali Haji itu memberi petuah bahwa manusia tak boleh mengutamakan hidup ini hanya untuk makan saja. Kalau orientasi hidup hanya untuk urusan perut saja, maka manusia akan lupa pada tugas dan tanggung jawab utamanya untuk mengabdi kepada Tuhan. Hidup jadinya untuk makan, bukan makan untuk hidup. Manusia yang hanya berorientasi makan menjadi orang yang pemalas dan banyak tidur hingga lalai untuk melaksanakan tugas-tugasnya sehari-hari. Malas merupakan fiil, perangai, atau perilaku yang tak senonoh, tak baik. Sememangnyalah, apabila manusia hanya mengutamakan hidup untuk makan saja, apalah bedanya makhluk Tuhan yang mulia itu dengan binatang?

Manusia modern yang cenderung makin konsumtif, termasuk dalam urusan mengisi perut, sering lupa ‘kebersihan’ segala jenis makanan yang (akan) dimasukkan ke dalam perutnya dan perut keluarganya. Di ujung malam hamba elus perut hamba sendiri, perut istri hamba, dan perut anak-anak hamba sambil berefleksi: apakah yang sudah diisikan oleh orang tua hamba dan hamba sendiri ke dalam perut-perut orang yang hamba kasihi itu? Hamba menyadari bahwa nanti di alam baka pastilah semua itu harus hamba pertanggujawabkan di hadapanNya.

* Versi cetak esai ini terbit di harian Batam Pos (lembaran ‘Jembia’), Minggu, 22 November 2015.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun