Mohon tunggu...
Suryadi
Suryadi Mohon Tunggu... -

Saya menulis dengan sikap rendah hati. Saya hanya berharap dari apa yang saya tulis, orang lain akan beroleh manfaat, walau mungkin hanya secuil. Dan saya berharap dari manfaat yang diperoleh orang lain dari tulisan saya itu, Tuhan Yang Maha Kuasa akan berkenan membalasnya dengan menunjukkan jalan kebenaran dalam hidup saya. (Personal page: http://www.universiteitleiden.nl/en/staffmembers/surya-suryadi).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Refleksi #1: Putih

24 Juli 2016   23:01 Diperbarui: 26 Juli 2016   10:55 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Indonesia + istri dan wakilnya + istri (Sumber: http://m.tempo.com)

Setiap warna mengandung makna. Setidaknya itu yang kita lihat dan rasakan dalam kehidupan sehari-hari. Dan warna putih mungkin cukup spesial. Ada nilai atau makna ketinggian yang dikandungnya, di samping kemungkinan makna-makna lain. Tapi…setiap warna memang mengemban makna. Orang Indonesia, misalnya, memaknai warna putih pada bendera negaranya sebagai lambang kesucian, dan warna merah sebagai lambang keberanian.

Di pantai selatan Jawa, warna hijau mengandung semacam makna ancaman: jangan mengundang Nyi Loro Kidul untuk datang merenggutmu bila berenang di laut dengan baju (renang) warna hijau. Di banyak tempat di Nusantara, juga di wilayah lain di dunia, warna kuning asosiatif dengan keluarga bangsawan yang berdarah biru. Demikianlah umpamanya, dalam masyarakat Melayu, warna kuning sebagai perlambang kaum menak kentara sekali. Bila orang awam diundang oleh seorang raja di Malaysia, misalnya, sebaiknya jangan mengenakan pakaian berwarna kuning. Jika Anda memakainya, bisa menimbulkan masalah: Anda dianggap menyaingi sang raja.

Mungkin pemaknaan terhadap warna tertentu bersifat arbitrer. Tidak ada yang bisa menjelaskan secara memuaskan bagaimana makna tertentu dapat melekat (atau dilekatkan) pada warna tertentu. Paling banter orang hanya dapat berkata, misalnya, bahwa kuning asosiatif dengan emas, dan emas berharga mahal, dan oleh karena itu sesuatu yang mahal dan mewah asosiatif dengan raja, manusia kelas tinggi, wakil Tuhan di dunia.

Akan tetapi, dalam hal pemaknaan terhadap warna putih dan hitam, mungkin kolonialisme masa lampau yang busuk itu telah ikut memberi sumbangan. Pada masa itu, orang-orang putih adalah Tu[h]an yang superior di atas jenis manusia lainnya yang kulitnya berwarna hitam.

Orang-orang putih dari Eropa memperbudak orang-orang hitam dari Afrika, memperlakukan mereka tak lebih sebagai barang. Dalam kenyataannya, dikotomi (kulit) putih-hitam itu meluas menjadi (kulit) putih versus (kulit) berwarna. Putih, dengan demikian, dianggap sesuatu yang asli, yang pure, yang super dan paling pintar. Dan dari sikap kolonial masa lampau itu muncullah rasisme.

Di Zaman Kolonial, warna putih memang identik dengan orang putih, orang Eropa, minoritas the ruling class. Para penguasa kolonial, sejak dari Goevernoer Generaal sampai Tuan Controleur, memakai pakaian warna putih. Dan para inlanders kagum melihatnya, bahkan menimbulkan rasa takut. Ada suasana formal yang dimunculkan oleh pakaian orang Belanda yang berwarna putih itu. Disadari atau tidak, terbentuk kesan sebaliknya terhadap warna hitam: warna yang identik dengan kekumuhan, keterbelakangan. Di tahun 1920an, Parada Harahap, wartawan prolifik asal Sipirok itu, menulis:

Pembatja ma'loem, anak-anak dinegeri ketjil [di Tapanuli] sangat takoet kepada 'toean' biar 'toean Arab' ataupoen kepada toean Keling, tetapi jang ditakoeti oleh mereka betoel-betoel ialah 'toean poetih', karena warna 'poetih' itoe djoega di hormati oleh agama Islam.

Demikian djoega anak terseboet [yang tak sengaja melentingkan kerikil ketapelnya ke oto tuan controleur yang berbaju putih] sangat takoet sekali kepada segala barang jang berwarna poetih, karena ia tahoe dinding sekolahnja bertjat poetih, dan tjoema bagian sekolah itoe sebelah dibawah jang diter [dicat] berwarna hitam. Ia tahoe, bahwa goeroenja djoega takoet akan warna poetih itoe.

Goeroe-goeroenja sehari-hari mentjeriterakan, bahwa tak ada lagi warna jang dapat melebihi warna poetih itoe, baik tentang kekoeasa'an ataupoen kemolekan, seolah-olah warna hidjau jang dilangit atau warna merah di sebelah Barat, tatkala matahari terbenam, tidak berkoeasa di moeka boemi ini…. Sianak mempertjajai perkata'an goeroenja, karena hari-hari otak dan perasa'annja ditjat oleh goeroenja dengan warna poetih itoe.Ia melihat tiap-tiap orang mati, berboengkoes dengan kain poetih! Djoega tatkala Nabi Mohammad s.a.w. machirad [mikraj] kelangit, matanja sangat silau sekali melihat warna poetih, jang amat terang sekali.”

Demikian yang dapat kita baca dalam buku Parada Harahap Dari Pantai ke Pantai: Perdjalanan ke-Soematra, October – Dec. 1925 dan Maart – April 1926. Weltevreden: Uitgevers Maatschappij ‘Bintang Hindia’, 1926, hlm.155-156 [Bab 'Swenang-wenang']. Parada menggambarkan betapa warna putih memiliki makna yang khas, yang agak menakutkan, dalam kognitif si inlanders waktu itu.

Pikiran bahwa warna putih identik dengan yang superior itu masih melekat sampai sekarang dalam diri bangsa Indonesia. Gadis-gadis berlomba memutihkan kulit mereka dengan berbagai lotion kecantikan, seolah mereka mengutuk kulit hitam manis pemberian Tuhan kepada mereka. Ada juga yang bangga mendapatkan pasangan orang kulit putih.

Jauh ke inti yang terdalam: kontras putih-hitam itulah dasar rasisme yang membusukkan kemanusiaan di bumi ini. Walau wacana dunia mengutuk rasisme, tampaknya ia belum akan hilang. Ini mengingatkan kita pada sindiran Presiden Zimbabwe, Robert Mugabe, yang negerinya pernah diperintah oleh minoritas orang putih yang menganggap pribumi berkulit hitam sebagai budak.

Racism,” kata Mugabe, “will never end as long as white cars are still using black tyres. Racism will never end if people still use black to symbolize bad luck and white for peace. Racism will never end if people still wear white clothes to weddings and black clothes to funerals. Racism will never end as long as those who don’t pay their bills are blacklisted not whitelisted. Even when playing snooker. You haven’t won until you’ve sunk the black ball, and the white balls must remain on the table. But I don’t care, as long as I’m still using white toilet paper to wipe my black butt, I’m fine!

"Rasisme tidak akan pernah hapus selagi mobil putih masih memakai ban berwarna hitam. Rasisme tidak akan pernah hapus selagi orang masih menggunakan warna hitam untuk menyimbolkan nasib buruk dan warna putih untuk perdamaian. Rasisme tidak akan pernah hapus selagi orang masih memakai pakaian warna putih ke perkawinan dan warna hitam ke pemakaman.

Rasisme belum akan hapus selagi orang yang tidak membayar tagihan di-blacklist, bukan di-whitelist. Bahkan [juga] ketika bermain bola sodok. Anda tidak pernah dinyatakan menang sebelum berhasil memasukkan bola hitam, dan bola putih tetap harus berada di atas meja bilyar. Tapi saya tak peduli, sepanjang saya masih menggunakan tisu toilet berwarna putih untuk mengelap pantat hitam saya, saya sih oke-oke saja."

Dan kini, lihatlah pakaian resmi para gubernur, wali kota, camat, hingga wali nagari ketika dilantik: pakaian mereka berwarna putih. Lihat pula pakaian resmi pegawai negeri yang diperkenalkan oleh Rezim Jokowi: kemeja putih berlengan panjang.

Sadar atau tidak, arketipnya dapat dicari ke masa lampau, yaitu warna pakaian Tuan Gubernur Jenderal, Tuan Residen, dan Tuan Kontroler. Dengan kata lain: putih adalah warna kekuasaan, dan hitam adalah warna kawula, warna orang yang terperintah. Namun, warna putih yang bersih dan suci itu sering bersemuka dengan hal-hal uang buruk dan menakutkan, mengingatkan kita pada penampilan hantu pocong dan mayat dalam kafan yang dimasukkan ke liang lahat.

Akan tetapi warna pakaian para pejabat negeri yang putih itu tidak mengurangi nafsu mereka untuk melakukan korupsi, menjarah uang rakyat. Di balik pakaian putih yang kelihatan necis dan bersih itu ada jiwa dan mental yang hitam kelam.

Kini, masihkah di otak Anda warna putih asosiatif dengan kesucian?

Leiden, Juli 2016

*Versi cetak esai ini terbit di harian Batam Pos (Lembaran ‘Jembia’), Minggu, 24 Juli 2016.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun