Mohon tunggu...
Adi Surya Arnanda
Adi Surya Arnanda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hallo, Saya adalah orang yang senang menulis untuk memberikan informasi dan pengetahuan yang bermanfaat untuk banyak orang. selamat membaca.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Revolusi Tiga Daerah Pasca Kemerdekaan di Tegal, Brebes, dan Pemalang (1945-1949)

19 Mei 2022   22:25 Diperbarui: 19 Mei 2022   22:35 2438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

  

    Revolusi sosial pada peristiwa tiga daerah mengalami puncaknya pada sekitar oktober-desember 1945 dimana pangreh praja dan elit birokrasi yang kehilangan arah kepemimpinannya mendapatkan balasan perlawanan dari masyarakat tegal, brebes, dan pemalang. Banyak terjadi pergolakan-pergolakan di tiga daerah ini karena kekesalan masyarakat di tiga daerah tersebut atas kelakuan para orang-orang birokrat yang selama pada pemerintahan jepang cenderung sangat korup dan tidak mendistribusikan hasil panen padinya untuk masyarakat pribumi (Ricklefs, 2008). Kelompok dan organisasi pergerakan yang sudah berdiri di tiga daerah  ini sejak sebelum proklamasi turut mengajak massa yang lebih banyak untuk melakukan sebuah gerakan revolusi untung menentang dan melawan para penguasa yang kini sudah kehilangan orang tuanya (pemerintah jepang). peristiwa revolusi pun terjadi, banyak para pangreh praja dan elit birokrasi yang dibunuh oleh massa yang di organisir oleh kelompok-kelompok pergerakan ini. Seperti contonya di tegal dimana revolusi ini dinamakan "pemberontakan kutil". Kutil yang bernama asli Sakhyani adalah seorang tukang cukur biasa yang tinggal di kecamatan talang, kabupaten tegal. Dimana ia membentuk sebuah organisasi bernama AMRI. Tujuan dibentuknya AMRI oleh kutil dimasa revolusi sosial ini adalah untuk pembagian kekayaan secara merata serta menumpas setiap orang yang dianggap sebagai pengkhianat Republik, salah satunya yaitu para penguasa daerah (pangreh praja). Oleh karena itu banyak kepala desa, lurah, pamong, dan camat yang diarak sepanjang jalan keliling desa yang kemudian sambil dipukuli, disiksa, dan dilucuti secara paksa oleh gerakan AMRI ini (Kurniawan, 2016). Aksi semacam ini disebut "dombreng" karena selama mengarak para pangreh praja yang korup ini massa yang ikut mengarak sambil menabuh gamelan dan kentongan supaya terlihat lebih ramai, dan masyarakat lain juga banyak yang menyaksikan penyiksaan orang-orang birokrat itu. Dari aksi dombreng tersebut memberikan rasa takut kepada para pangreh praja yang lain dan orang-orang yang memihak pada jepang yang masih bersembunyi dan lebih memilih untuk kabur keluar dari wilayah tegal secara diam-diam. Polisi desa yang ketahuan pro kolonial jepang juga turut diusir dari wilayah tegal. Peristiwa tersebut terjadi pula di pemalang. Orang-orang yang melakukan gerakan revolusi ini yang menyiksa dan membunuh para pangreh praja tersebut diberi nama "Lenggaong". Namun untuk di brebes, agaknya gerakan revolusi menentang penguasa ini lebih relatif kondusif, tidak ada satu pangreh praja seperti kades atau lurah bahkan camat yang dibunuh. Karena organisasi dan kelompok pergerakan di brebes hanya mengganti para pangreh praja yang lama (yang disetir oleh pemerintah jepang) lalu digantikan dengan pemimpin-pemimpin yang baru yang lebih nasionalis dan memihak pada masyarakat indonesia.

    Revolusi sosial di tiga daerah tersebut juga menunut untuk dihapuskannya tatanan lama pada struktur birokrasi seperti kepala desa, pamong desa, camat, wedana, serta pemerintah kabupaten. Semua struktur birokrasi daerah dirombak habis-habisan oleh organisasi maupun kelompok masyarakat pergerakan di tiga daerah itu. Hilangnya pemerintah yang pro kolonial juga menjadi dasar bagi gerakan revolusi tersebut untuk mengganti pejabat-pejabat baru yang dikira mampu untuk menjalankan sistem birokrasi yang nasionalis dan memihak pada rakyat. Pergantian pangreh praja dilakukan di tingkat kewedanaan dan kecamatan, kemudian disusul dengan perubahan pada kepemimpinan desa. Hal ini diharapkan untuk menciptakan suatu perubahan sosial yang pasti. Dari adanya peristiwa revolusi sosial ini membuat ibukota karesidenan yaitu di pekalongan mengeluarkan tiga maklumat yang intinya menyerukan kepada masyarakat di tegal, brebes, dan pemalang agar tetap tenang, tertib, dan kondusif serta selalu untuk berdiri dibelakang pemerintah republik indonesia. Namun agaknya maklumat itu diabaikan oleh ketiga daerah tersebut dan bahkan dicurigai. Para pangreh praja dan orang-orang yang pro kolonial jepang yang telah mundur dari jabatannya dan memilih untuk kabur menyelamatkan diri menuju ibukota kabupaten di pekalongan. Namun rupanya langkah ini sia-sia karena revolusi sosial sudah berkembang dan meluas hingga ke kota-kota di kabupaten karesidenan. Sesudah gerakan revolusi sosial itu terjadi, ketiga daerah tersebut membentuk suatu front persatuan yang diberi nama Gabungan Badan Perjuangan Tiga Daerah (GBP3D). GBP3D ini dibentuk karena adanya rasa persamaan nasib yang dialami masyarakat di tiga daerah tersebut dan sama-sama menginginkan sebuah revolusi yang akan merubah semua tatanan sosial masyarakat ke arah yang lebih baik. Anggota-anggota GBP3D adalah gabungan dari para pemimpin maupun orang yang ikut masuk dalam organisasi dan kelompok-kelompok pergerakan revolusi dari ketiga daerah tersebut. Langkah-langkah yang dilakukan oleh front ini antara lain membawa ibukota karesidenan (kabupaten Pekalongan) supaya segaris politik dengan tiga daerah lainnya. Pembentukan sistem pemerintahan baru yang memihak pada rakyat, membangun perjuangan dengan menyatukan visi misi, penyelesaian masalah perekonomian yang lemah di karesidenan tersebut, dan memberikan kesejahteraan materialisme kepada para buruh dan tani menjadi agenda-agenda penting yang akan dilaksanakan oleh front persatuan ini. GBP3D juga turut aktif dalam melakukan pengawasan terhadap kinerja para pejabat-pejabat pangreh praja yang baru untuk benar-benar memastikan bahwa mereka dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Dari semua uraian rentetan peristiwa revolusi sosial tiga daerah yang terjadi di karesidenan pekalongan ini patut dijadikan contoh sebagai bentuk perjuangan dalam rangka menegakkan kehormatan menegakkan kehormatan dimata pemerintah yang tidak sepaham dengan mereka

    Dari peristiwa tiga daerah tersebut, memanglah dalam sebuah revolusi pasti akan berujung sebuah pergolakan, pertentangan, dan perlawanan antar kelas sosial. Karena pada dasarnya revolusi adalah sebuah buah pemikiran yang menginginkan terjadinya perubahan sosial dalam kehidupan masyarakat untuk menjadi lebih baik dan bisa mensejahterakan rakyat tanpa memihak pada satu kelas, artinya tidak ada kelas sosial di dalam revolusi ini. Semua akan mendapatkan hak-hak yang sama rata, tidak ada lagi kesenjangan dan kecemburuan sosial, dan masyarakat bisa mendapatkan keadilan yang sama. Namun jika kita lihat, revolusi-revolusi yang terjadi di indonesia yang selalu menimbulkan sebuah konflik agaknya sedikit berbeda dengan apa yang terjadi pada revolusi di Yogyakarta. Perlu kita pahami jika Yogyakarta satu-satunya wilayah yang melakukan revolusi untuk menentang para penguasa kolonial dengan menghindari konflik pergolakan. Keinginan yogyakarta untuk melakukan perubahan sosial dan membentuk pemerintahan sendiri sudah ada sejak lama, pada zaman kolonialisme belanda. Melalui cerita tentang para pahlawan-pahlawan dimasa lalu yang melakukan perlawanan kepada kolonial serta kebencian mereka terhadap belanda sudah cukup menjadi bukti akan hasrat mereka untuk membentuk pemerintahan sendiri. Masyarakat Yogyakarta sangat benci dan tidak puas atas apa kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah kolonial yang telah mengakibatkan penderitaan dan kesengsaraan untuk masyarakat pribumi. Ditambah lagi dengan masa pendudukan jepang yang semakin memberlakukan masyarakat indonesia khususnya Yogyakarta layaknya seorang budak. Hal ini tentulah sangat mempengaruhi mental psikologi dan fisik mereka. Alhasil karena rasa tertindas inilah masyarakat yogyakarta menginginkan sebuah perubahan sosial dimana tujuan utamanya harus menghapus dan mengusir sistem pemerintahan kolonial. Revolusi yogyakarta ini berhasil dilakukan sesudah proklamasi kemerdekaan indonesia dikumandangkan. Keyakinan bahwa seluruh bangsa telah mengikuti pemimpin nasional dan praktek negara kolonial telah dihapuskan akibat kekalahan jepang, Yogyakarta langsung memutuskan untuk mangadakan perubahan pemerintahan dari mulai mengganti ideologi dari kolonial menjadi nasional. Kemudian disusul dengan perubahan-perubahan sosial di sektor yang lainnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun