Oleh karenanya kita sering kali melihat saat-saat pemilu atau apapunlah itu yang masih ada hubungannya dengan tata mekanisme pemilihan pemimpin di Indonesia. Di saat golongan siapa yang menang, pasti dari golongan mereka lebih mendominasi wilayah kekuasan di Indonesia, di bidang apapun. Saya kurang paham tentang hal itu, apakah hal tersebut menjadi sifat naluriah manusia, atau memang sudah menjadi kultur budaya, sehingga turun temurun dilakukan.
Kita simak akhir-akhir ini di Indonesia khususnya, terjadi gencar-gencarnya bencana, baik berupa fisik atau kesadaran manusianya. Indonesia sedang berturut-turut mengalami bencana. Dekatnya baru kemarin kita mengalami bencana di Lombok, kemudian bencana di Palu, Donggala dan sekitarnya, baru kemarin juga tidak kala pentingnya kita sedang menyaksikan bencana media yaitu tokoh elit politik dan seniman kita Ratna Sarumpaet.
Kabar Hoax seakan sudah terpelihara subur di negeri ini. Orang tidak bisa membatasi bahasa mulutnya, bahasa hatinya di media. Orang bebas tanpa batas berbicara di media umum untuk menarik simpati kepada rakyat, apapun caranya, meskipun itu metodenya tipu daya muslihat.
Negara ini seperti terjadi goncangan bertubi-tubi, baik alam ataupun kamanusiaannya sendiri. sudah hilang keseimbangan secara tata kelola alam dan manusianya. Hubungan keduanya sangat erat kaitannya. Terminologinya adalah di balik bencana pasti ada peringatan, sedang di balik rezeki pasti ada cobaan. Keduanya juga beriringan. Semua terjadi pasti ada sebab akibat di dalamnya.Â
Peringatan ini mungkin ada skala wilayahnya. Tapi kesadaran diri sendiri lebih penting dari apapun. kita tidak tahu kapan musibah dan celaka datang menimpa. Momentum itu tidak pernah tau kapan datangnya. Maka dari itu intropeksi diri sendiri sangatlah penting ketika mengingat gejala-gejala timbul akhir-akhir ini.
Yang menjadi persoalannya adalah pemerintah tidak menetapkan ini sebagai Bencana Nasional. Ukurannya adalah bencana itu bisa dikatakan menjadi bencana Nasioanl ketika bencana tersebut mencangkup segi nasional.Â
Jadi kalau gempa mungkin gempa nasional, kalau tsunami juga bisa tsunami nasional, gunung meletuspun mungkin gunung meletus nasional, jadi semua gunung-gunung di Indonesia saling meletus, lalu se-Indonesia tertimpa reruntuhannya. Apakah seperti itu perhitungannya.
Tidak perlu ambil pusing, bencana nasional bukan hanya bencana secara fisik, tapi bencana kemanusiaan, bencana kesadaran bisa lebih berat kerugiannya dari pada bencana fisik. Langsung saja pemerintah menggunakan ukuran kalau bencana Nasional adalah tindakan korupsi. Itu budaya paling terkenal dari negara Indonesia. Identitas budaya nasional kita.Â
Masalahnya, korupsi letak kerugiannya tidak hanya di cangkupan regionalnya saja. Ketika orang sudah melakukan tindakan korupsi, maka letak kerugiannya adalah negara Indonesia.Â
Mereka yang berkorupsi adalah mencuri uang rakyat. Andaikan uang korupsi digunakan untuk kebutuhan pokok negara yang lain, seperti membantu saudara-saudara kita yang lagi kesusahan, membantu saudara kita yang berada di wilayah terisolir atau bisa juga digunakan membangun infrastruktur yang masih belum terselesaikan.
Tingkat kerugiannya merambah ke wilayah Nasioanal. Kasihan saudara-saudara kita, teman-teman kita seperti halnya yang baru saja tertimpa musibah kemarin, kalau saja korupsi tidak merajalela, pasti dana pemasok kebutuhan mereka bisa terpenuhi dengan baik.