Frasa 'dari dulu sudah begitu' juga keluar dari mulut mereka yang disebut kelas menengah ini. Layaknya rakyat miskin yang sedang memperjuangkan tempat tinggal mereka yang illegal. Rakyat miskin akan berontak karena mereka tidak punya pilihan, daripada keluarga mereka harus menggelepar ditengah jalan, kehujanan dan kepanasan, rentang waktu pun dijadikan alasan untuk sebuah pembenaran yang tidak akan jadi kebenaran.
Sementara si kelas menengah ini dalam pandangan saya lebih ke ogah rugi, marah, merasa ketenangannya selama ini diusik walaupun salah, merasa sudah menghabiskan uang banyak untuk terasnya yang dibongkar negara karena jelas jelas menduduki saluran air yang notabene adalah fasum dan fasos, bukan milik pribadi.
Kalau rakyat kecil hanya menangis pasrah, si kelas menengah yang merasa memiliki dana lebih memilih melawan. Mereka menggerakkan karyawan, bikin spanduk, mengajak kelas menengah lain yang sudah ditulari perspektif jahanam (begitu saya menyebutnya) lalu demo di rumah si ketua RT yang dianggap biang rusuh.
Kalau sudah begini, Pemerintah provinsi tentunya menjadi sorotan. Kemana saja selama ini. Apalagi berdasarkan keterangan ketua RT, ia sudah melaporkan kejadian ini sejak tahun 2019 dan rutin setiap tahunnya, namun tidak di tanggapi. Dimana lurah yang seharusnya menguasai wilayahnya.
Tidak tahu
Pura-pura lupa
Atau memilih tutup mata
Terima kasih kepada ketua RT bernama Riang yang membuka mata bahwa kebenaran akan selalu menjadi pihak yang dipersalahkan bagaimanapun caranya. Bahwa kicauan netizen hanya akan menjadi kicauan dan dukungan di dunia maya, namun bingung juga bagaimana menunjukkan dukungan di dunia nyata untuk hal ini.
Tetaplah menjadi RIang seperti namanya, dan semoga tidak dikucilkan dari pergaulan lingkungan rumah kelas menengah yang bodohnya luar biasa.
Ah..maaf, mungkin ada beda kelas ya. Anda tahu aturan, taat aturan dan bisa baca