Tadi pagi, jari saya yang sedang asik men scroll halaman tiktok memilih untuk berhenti pada satu video yang kurang lebih bernarasi bahwa salah satu partai politik menghentikan dukungannya pada salah satu capres yang juga mantan Gubernur DKI. Dalam video tersebut, terlihat ketum Parpol tersebut sedang berpidato dan di akhiri dengan menyebut nama capres lain (bukan yang selama ini didukungnya), seolah-olah ia mendukung capres lain (GP) dan menarik dukungannya dari capres yang selama ini selalu di dukung oleh partainya(ARB) Â
Sebelumnya ketika video itu sedang berjalan, saya sempat berpikir, apa saya memang ketinggalan berita ya, sampai saya tidak tahu ternyata ada pergerakan dalam panggung politik yang memang sedang hangat-hangatnya, sampai saya menyadari bahwa video tersebut hanyalah editan, dan ditambahkan dengan narasi-narasi tertentu.Â
Tapi bagi saya sebenarnya yang menarik adalah ketika saya melihat comment, dimana ada salah satu komentar dari netizen yang menanyakan kepada kreator video tersebut, apa tidak takut dipenjara karena ini, yang kemudian di balas oleh si kreator dengan bahasa yang menurut saya agak menantang, dimana aa mempersilahkan jika ingin melaporkannya kepada pihak yang berwajib.
Bagi saya hal tersebut menjadi menarik. karena menurut saya yang ditanyakan netijen adalah betul. Jika melihat videonya, jelas yang disebarkan oleh kreator tersebut adalah hoax dan berita palsu, apalagi ditambahkan narasi pada captionnya. Dan saya meyakini bahwa pastinya ada pasal yang bisa menjerat si pelaku. Sudah editan, ditambahkan narasi pula.Â
Saya menjadi berpikir, mengapa sekarang banyak orang yang sungguh bebal. Sudah salah ngotot, nantang pula. Kenapa hanya karena hal-hal tertentu seseorang kehilangan akal sehat dan logika, dan nurani (bukan nur aini). Dan bahkan kalau di perhatikan, bebal tersebut sudah merambat ke berbagai segmen dari rakyat biasa, wakil rakyat, hingga pejabat.
Misalnya saja ketika DPR mengganti salah satu hakim MK hanya karena menganggap bahwa keputusan hakim MK tersebut sering bertentangan dengan DPR. Padahal saya meyakini bahwa dalam hati nurani masing masing mereka -apalagi mereka komisi III yang memang pastinya paham dengan hukum - menyadari bahwa MK haruslah di isi oleh orang-orang yang indenpenden, dan hukum tidak boleh memihak. Bahwa hakim MK bukanlah representasi dari yang memilih mereka (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Â
Itu dari segmen wakil rakyat.Â
Kalau mau lihat segmen pejabat, lihat saja Gubernur Lampung yang tengah viral, yang tidak terima dikritik pedas, bahkan sempat memarahi orang tua si pengkritik via telepon. Padahal memang kenyataannya jalanan Lampung rusak parah, dan bahkan menjadi olok-olok warganya sendiri setelah viral karena dajjal.
Ya, semoga siapapun yang membaca tulisan ini tidak bebal serta tidak mematikan logika dan nuraninya. Menjadi seorang manusia tidaklah harus selalu benar, toh kebenaran tidak tunggal. Â
Jakarta 04-05-2023. Hujan tapi panas.Â
*Dalam hal ini patut di catat bahwa saya bukanlah pendukung ataupun fan base dari salah satu bakal capres tersebut ya.. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H