Mohon tunggu...
surya hadi
surya hadi Mohon Tunggu... Administrasi - hula

Pengkhayal gila, suka fiksi dan bola, punya mimpi jadi wartawan olahraga. Pecinta Valencia, Dewi Lestari dan Avril Lavigne (semuanya bertepuk sebelah tangan) :D

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kemenkeu dan Narasi Bodoh Berbunyi 'Jangan Bayar Pajak'

16 Maret 2023   11:40 Diperbarui: 16 Maret 2023   12:09 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mungkin saya termasuk orang yang telat menulis soal ini, tapi ijinkan saya membuka tulisan ini dengan sebaris dua baris kalimat dari beberapa orang yang saya temui mengenai kasus di Kemenkeu yang sudah viral beberapa minggu lamanya :

"Ngapaian bayar pajak gede gede, duitnya di pake buat gebukin anak orang.. "

"Lu liat thu, duit pajak lu dipake buat mereka foya-foya.. "

Buntut kasus penganiayaan yang dilakukan oleh anak seorang pegawai di kemenkeu (RAT) memang berujung pada hilangnya rasa percaya masyarakat terhadap institusi negara di bawah Kementrian Keuangan dalam hal ini Direktorat Jendral Pajak (DJP). Bahkan Menteri Keuangan sampai bertindak tegas dengan melarang semua pegawainya memamerkan harta mereka hingga membubarkan 'genk motor' di DJP.

Tapi jika menyamaratakan semua pegawai pajak sama 'malingnya' hingga muncul gerakan 'jangan bayar pajak'. SUMPAH... ITU BODOH BESAR.

Melihat berita dimana ada beberapa orang yang menyebarkan flyer gerakan 'jangan bayar pajak' di depan kantor pajak di Gatot Subroto Jakarta Selatan (sepertinya di kanwil) membuat saya bertanya:

  • Apakah mereka mengerti esensi dari kasus harta gendut RAT ini ?
  • Apakah mereka selama ini sudah membayar pajaknya dengan benar, serta melaporkan harta dan penghasilannya dengan benar ?

Patut dicatat, digarisbawahi, hingga di beri penebal bahwa setiap pajak yang kita bayarkan melalui bank, atm ataupun metode pembayaran lainnya akan masuk langsung ke kas negara. Gambaran bodohnya, negara punya rekening khusus yang akan menampung uang pajak yang kita setorkan. Sampai disini clear, bahwa tidak ada uang negara yang di korupsi ketika kita melakukan pembayaran pajak.

"Tapi uang pajak kita kan juga digunakan untuk bayar gaji RAT, buat gebukin anak orang.. " 

Betul bahwa memang uang pajak kitalah yang digunakan untuk membayar gaji PNS hingga DPR, yang bukan cuma RAT. Tapi yang patut di garisbawahi bahwa pastinya gaji yang diterima RAT sudah sesuai dengan jabatan dan fungsinya sebagai pegawai di Kemenkeu, dan saya juga meyakini bahwa Kemenkeu mempunyai system penggajian dengan tolak ukur kinerja yang jelas, entah itu berdasarkan KPI atau mungkin hal-hal lain yang pastinya terukur, sehingga sampai disini cukup  jelas bahwa uang pajak yang kita bayarkan dan digunakan untuk bayar RAT merupakan HAK RAT sebagai pegawai kemenkeu.

"Tapi harta RAT bisa sampei 56 milyar, ga sesuai sama gaji.. " 

ITU HAL LAIN, saya yakin dan percaya bahwa tidak mungkin kemenkeu kecolongan dalam hal penggajian RAT, yang paling mungkin dilakukan RAT adalah (ini dugaan dan kemungkinan ya, bukan tuduhan) bermain dengan wajib pajak nakal yang ingin mengecilkan pajak terhutang atau menyelesaikan kasus pajak yang tengah membelit perusahaan mereka. Layaknya gayus yang menjadi makelar kasus dulu (koreksi kalau saya salah), atau mungkin RAT punya bisnis diluar pekerjaannya yang memang memiliki profit yang besar dan sustain.

Dan sampai sini juga jelas bahwa sumber harta RAT bukan berasal dari pajak yang kita bayar, karena pajak yang kita bayar menjadi HAKNYA RAT DALAM BENTUK GAJI. Bisa saja hartanya dari dari wajib pajak nakal yang memberikan suap (yang berarti ini uang pengusaha) atau mungkin memang usaha dia sendiri.

LALU DIMANANYA NARASI YANG BILANG UANG PAJAK KITA BUAT MUKULIN ANAK ORANG, SAMPAI ADA GERAKAN JANGAN BAYAR PAJAK ?? APA HUBUNGANNYA BAMBANG ?? *dan bambang muncul di komen :D

tribbunbogor
tribbunbogor

Saya menonton beberapa potongan wawancara Sri Mulyani dengan Andy F Noya di berbagai media. Ada rasa sedih dimana ketika ibu Ani bilang bahwa banyak pegawai pajak yang menutupi tanda pengenal DJPnya, atau saya menangkapnya kalau mereka malu menjadi bagian dari DJP. Padahal mereka seharusnya bangga bisa menjadi bagian dari 'ayah' dalam keluarga NKRI.

Saya ingat dalam sebuah seminar yang diadakan oleh kantor pajak yang saya ikuti dulu, pembawa acaranya mengatakan kurang lebih bahwa jika diibaratkan sebuah keluarga, DJP merupakan ayah yang harus bekerja keras mencari uang untuk operasional negara.

Dan kini mereka dihujat habis-habisan, disamaratakan

Saya juga tidak menutup mata kalau banyak juga mahluk-mahluk (ogah bilang oknum) di DJP yang reseknya kebangetan, ada yang pernah minta terang2an untuk ditambah pembayaran pajaknya karena dia melihat potensinya besar atau akan dilakukan pemeriksaan (padahal potensi dan keuntungan adalah 2 hal berbeda dan pemeriksaan itu sungguh melelahkan) hingga ngotot menggunakan aturan lama yang sudah karatan, entah itu sengaja atau mungkin karena ketidaktahuan.

Gbr : Tempo
Gbr : Tempo

Mengajak orang untuk tidak membayar pajak karena kasus RAT merupakan Gerakan yang bodohnya sangat keterlaluan, hakiki dan luar biasa tol*lnya. Kalau mau teriak kemana uang pajak yang kita bayarkan, coba teriak ke dalam LP, kepada mereka yang melakukan bancakan / korupsi yang gila-gilaan, baik obyeknya ataupun nilainya.

Kepada pelaku korupsi pengadaan al quaran, atau pengadaan EKTP, sebuah program baik yang dalam pandangna saya bisa membantu mengatasi masalah kependudukan, namun malah dibancak habis-habisan, atau mungkin pelaku korupsi bansos yang entah apa keluarganya masih kaya sampai sekarang atau tidak. Bin*tang.. !!!

*Sedikit usul, kalau boleh kenapa tidak pelaku korupsi itu dimiskinkan, dan disita semua hartanya, tidak peduli itu harta yang didapat secara halal atau non halal. Lalu ketika ia dan keluarganya miskin, pelakunya dihukum social dengan menjadi petugas PPSU atau tukang bersih2 got dan jalan ditiap daerah atau kota. Dibanding mendekam dipenjara, saya merasa hukuman social lebih pantas untuk mahluk2 seperti itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun