Hari ini saya menggeser-geser social media milik saya, sampai akhirnya jari saya berhenti menggeser ketika saya membaca sebuah judul berita yang cukup membuat saya mengangkat kedua alis saya.Â
Hanya berita 'receh' yang memberitakan bahwa seorang yang disebut ustad kabarnya akan dicalonkan menjadi bakal caleg pada pemilu mendatang dari sebuah partai yang dimiliki oleh salah satu pemilik group media besar yang ada di Indonesia.
Belum pasti memang, tapi sejujurnya menjadi membuat saya bertanya :
Bagaimana mekanisme sebuah parta memilih seseorang untuk dijadikan wakil rakyat ?
Besar-besaran uang dan modal ?
Rekam jejak ?
Tingkat popularitas dari orang tersebut ?
Apakah sudah melalui mekanisme yang benar dan baik ?
Atau malah memang rakyat selama ini hanya disajikan caleg-caleg 'sampah' yang tidak mempunyai kompetensi dan kemampuan sebagai pengawas yang mengawasi kinerja pemerintahan ?
Ustad ini memang bisa dibilang cukup kondang, bahkan ajarannya mengenai sedekah tidak sedikit menjadi olokan di dunia maya.Â
Potongan videonya yang marah-marah sambil bertanya "darimana uangnya" juga sering menjadi editan di jagat dunia maya untuk decompile dengan video-video lain dengan tujuan hiburan, dan di tertawakan, belum lagi masalah investasi bodong yang menjerat ustad tersebut yang sesekali terdengar diruang public. Luar biasa kan.. Â
Lupa
Ya.. Lupakan sejenak soal ustad tersebut, dan sadarilah bahwa bangsa ini memang bangsa yang pemaaf dan pelupa. Masyarakat Indonesia memang dianugerahi rasa memaafkan dan permisif yang tinggi, mencontoh dari putusan-putusan yang berbau permisif dan memaafkan  yang dibuat oleh para petinggi negeri ini.Â
Misalnya saja putusan MA yang memperbolehkan eks napi koruptor untuk kembali mencalonkan diri menjadi Caleg pada pemilu 2024 mendatang, padahal kasus korupsi dikategorikan sebagai extraordinary crime.
Toh mereka sudah dipenjara, sudah mempertanggungjawabkan perbuatannya. Jadi dimaafkan kan :D
Atau kalau mau mundur kebelakang lagi, kita bisa melihat bahwa otak dari kasus pembunuhan terhadap seorang hakim yang terjadi kurang lebih 20 tahun lalu kini malah dengan PD nya mendirikan partai, seolah tidak pernah terjadi apa-apa.
Ada sebuah kalimat klasik yang mengatakan bahwa waktu adalah obat dari segala jenis luka. Time will heal. Tapi dalam hal ini, bagi saya justru waktu menjadi pemicu penyakit bernama lupa, dan terus menggerogoti sejarah yang seharusnya terus dibunyikan. Agar masyarakat tidak lupa dan bisa menilai melalui rekam jejak.
Jakarta 09-11-2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H