RUU Cipta Kerja yang disahkan DPR pada hari senin 05/10/2020 masih menjadi primadona paling seksi minggu ini.Â
Bahkan dalam seminggu terakhir, koran berlangganan yang saya baca menyorot RUU ini dari berbagai sisi. Mulai dari aspe ketenagakerjaan, pendidikan, UMKM, lingkungan, hingga perikanan.Â
RUU ini memang bukan RUU biasa. Berkonsep omnibus law, RUU ini mampu merontokkan undang-undang sebelumnya yang terkait, dengan tujuan segala yang berhubungan dengan dunia usaha dibuat lebih sederhana menjadi 1 kitab suci bernama Undang-undang cipta kerja.
Pemerintah mengklaim undang-undang ini merupakan terobosan dan menjadi jalan keluar bagi pemulihan ekonomi Indonesia yang memang saat ini tengah goyah akibat pandemi covid-19.Â
Dipangkasnya birokrasi berbelit dan aturan yang menyusahkan dalam berusaha menjadi jaminan dari pemerintah dalam menjaga iklim investasi agar terciptanya jutaan lapangan kerja di Indonesia.
Sebagai negara hukum, Indonesia selama ini memang dikenal memiliki banyak aturan yang tumpeng tindih dan berbelit-belit. Berbagai macam aturan dikeluarkan Pemerintah, mulai dari undang-undang, peraturan pemerintah (PP) , peraturan menteri, pergub, hingga perda.Â
Kesemuanya merupakan aturan resmi yang tertulis diatas kertas dan ditandatangani pejabat terkait untuk kemudian wajib di taati oleh setiap warga negara.
Meski begitu, ketaatan terhadap hukum di negara hukum ini memang bisa dibilang masih amat minim. Mau contoh?
Lihat saja berapa banyak aturan dengan sanksi yang dibuat dalam masa pandemi agar masyarakat mau mengimplementasikan protokol kesehatan dengan ketat.Â
Yang ada malah demo, atau bodohnya justru asik berimpitan pada acara dangdutan yang mirisnya digelar oleh wakil ketua DPRD Tegal, yang seharusnya menjadi contoh bagi masyarakat.
Atau, kalau mau lihat paling gampang, lihat saja bagaimana proses penyusunan RUU Cipta Kerja yang bisa direvisi setelah paripurna hingga keluar 3 macam versi. Kalau kata rekan saya yang sedang kuliah, ini ibarat mengajukan proposal skripsi, langsung siding, dan baru direvisi.
RUU Cipta Kerja nantinya (mungkin) hanya akan jadi standart di atas kertas, yang hanya membedakan mana kepatutan yang tertulis dalam ketentuan dan yang tidak tertulis dalam ketentuan yang dianggap ketidakpatutan.Â
Pada akhirnya, UMP/UMK yang katanya kemarin di demo buruh karena katanya dihapuskan hanya akan menjadi aturan, toh sampai saat ini saja masih banyak buruh yang bekerja dengan pendapatan dibawah upah minimum yang ditentukan.
Ya... dibanding sama sekali tidak ada pekerjaan dan pendapatan. Dibanding harus mati kelaparan sambil menunggu pekerjaan dengan gaji yang diinginkan namun tidak kunjung kesampaian.
Janji pemerintah dalam menghapus pungli dengan RUU ini pun mungkin akan bernasib sama. Jika (mungkin) dalam birokrasi bisa bebas dari pungli, tetap saja pengusaha tidak akan terbebas dari berbagai pungli lain yang terjadi di lapangan.
Coba tanya supir kendaraan antar kota yang sering di palak entah itu preman atau malah petugas di lapangan. Selain melahirkan kontrovesi dan demo, salah satu bayi yang nantinya akan lahir dari RUU ini adalah pelanggaran dan akal bulus yang akan terus berkembang untuk memperkaya diri tanpa ketahuan.
Toh, undang undang hanya akan menjadi tulisan di atas kertas yang ditandatangani. Ketaatan adalah urusan nanti.. :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H