"Hai, mari kita berteman... "
Lakukan itu sambil mengulurkan tangan, dengan senyum yang lebar sampai memperlihatkan barisan gigi yang berderetan.
Aku melakukannya berulang-ulang. Di kamr mandi, kamar tidur, di depan cermin, hingga diatas genangan air yang memantulkan diriku.
Anggap saja latihan.. begitu kataku
Kini mereka ada di depan, bergerombol dengan riang, berteriak-teriak, tertawa, hingga ada yang main kejar-kejaran.
"Hai, mari kita berteman.. " ujarku sambil mengulurkan tangan, namun kali ini bukan latihan.
Sambil menunggu uluran tangan, aku mencoba tersenyum, berharap respon lain yang mungkin lebih mudah dilakukan. Toh tersenyum pasti lebih mudah dibanding mengulurkan tangan kan.
Mereka diam beberapa saat, lalu kembali bermain bersama..
Aku lalu pulang, masih dengan senyum yang terus kupertahankan, namun tidak dengan tangan yang mengulur. Tanganku pegal setelah berkali kali mengusap wajahku dengan air sungai. Aku berkali-kali berkaca disungai sambil bertanya, apa ada yang salah dengan wajahku.
Hidungku masih berlubang dua..
Mataku juga masih mempunyai dua bola mata..
Atau mungkin ada yang salah dengan rambutku? Telingaku? Atau senyumku?
Ah, air sungai terlalu kotor sehingga tidak bisa menampilkan kalau ada yang salah dengan diriku.
Di rumah aku mengambil kaca. Benda yang pastinya menampilkan wajahku dengan lebih jernih di banding dengan air sungai yang berhasil membuat tangaku pegal.
Beberapa saat aku kembali berkaca, namun tidak lama kacanya pecah.
Ibu berteriak lantang hingga suaranya memecahkan kaca
Ayah berteriak marah, lalu melempar kaca yang lainnya
Kaca yang dilempar ayah pun menjadi kecewa, bertanya kenapa ia yang malah menjadi korbannya..
Ia juga lalu berteriak, menangis dalam pertanyaannya..
Rumah ini kali ini penuh teriakan, hanya aku yang tidak berteriak. Aku tidak suka berteriak, cukup kupingku yang merasa sakit karena teriakan, jangan sampai tenggorokanku pun ikut sakit karena aku berteriak.
Aku lalu berlari ke bawah tempat tidur, bersembunyi. Menghindari tangisan kaca-kaca lainnya yang sepertinya sama kecewa seperti kaca yang pertama. Dan tetiakan ibu yang sepertinya mulai bercampur dengan tangisnya.
"Hai.. mari kita berteman.. " seseorang di bawah tempat tidur mengulurkan tangannya sambil tersenyum lebar.
Aku terdiam beberapa saat dan segera tersadar. Aku tidak ingin mematung lama-lama, aku tahu bagaimana rasanya gigi menjadi kering karena terlalu lama tersenyum.
"Hai, mari kita berteman.. " ujarku sambil tersenyum dan menyambut uluran tangannya.
"Siapa namamu.. ??"
"Kesepian.." ujarnya pelan
Dan akupun mulai berteman dengan kesepianÂ
Jakarta 03-12-2019
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI