"Iya Mba, agak panas memang kalau pake hijab, mungkin akunya juga yang belum biasa.." ujar Anjani seraya tersenyum manis pada si Mbah yang hanya bisa di balas si Mbah dengan tawa terkekeh yang memperlihatkan mulutnya yang sudah minim gigi alias ompong.
Mbah sangat mencintai Anjani, baginya Anjani sudah seperti anak kandungnya yang dilahirkannya dengan paksa dulu. Dulu ia lebih memilih menggugurkan kandungannya dan menyerahkannya kepada tanah di belakang rumahnya, ia takut anaknya tidak bisa makan atau mati kelaparan karena kondisi keuangan ia dan suaminya yang kala itu sangat morat marit yang bahkan hanya makan dari nasi sisa yang dipungutnya dari warung-warung di sekitar rumah.
Ah... Andai ia tidak membiarkan tanah merah di belakang rumah itu memeluk anaknya, mungkin saja anak itu sudah seumuran dengan Anjani.
Mbah adalah satu satunya pribadi di kampung itu yang sangat mengenal Anjani.-selain Umi tentunya- Mereka sering bertukar cerita, dan keluhan layaknya ibu dan anak yang hanya dipisahkan status kewarganegaraan.
Mbah menjadi orang yang pertama membela Anjani ketika Anjani memilih menikah dengan si tuan tanah yang berbuntut gossip yang bergerak liar di desanya. Ia mengenal Anjani hingga ke dalam sumsum tulangnya. Tak jarang ketika mengobrol dengan penduduk kampung yang suka kumpul di warungnya, si Mbah bercerita mengenai Anjani, menceritakan keluguan dan kebaikan hati Anjani.
**
Deru lari kepala desa dan beberapa warga di belakangnya yang tergesa gesa membuat si Mbah heran, hari ini ia melihat banyak orang berpakaian putih putih, baik itu baju gamis ataupun kemeja lenga panjang dan celana panjang dengan warna yang sama lewat di depan warungnya dengan suara takbir yang lantang dan wajah penuh amarah, -walau mungkin ada beberapa yang tertawa tawa-.
Awalnya si mbah berusaha untuk tidak peduli, namun asap hitam yang mengepul di udara dari sebuah lokasi yang sangat di kenalnya membuat tubuh rentanya bergerak secepat yang ia mampu. Menutup warung kopinya yang sepi karena sepertinya hampir semua warga desa yang biasa ngutang di warungnya sudah pergi ke sumber asap.
"Saya minta maaf pak, saya yakin istri saya tidak ada maksud seperti itu.. " ujar si tuan tanah lirih. Ia mencoba melindungi istrinya dari pukulan dan tendangan beberapa orang warga yang terlihat marah, wajahnya lebam, kepalanya masih bermandikan darah ketika Anjani terakhir kali melihat matanya, sebelum akhirnya satu pukulan balok kayu mengakhiri nyawa si tuan tanah dan menutup matanya untuk selama lamanya.
Suara takbir berkumandang di tengah tangisan pilu Anjani dan jilatan api yang membakar habis rumah si tuan tanah. Tak ada yang bisa di lakukan Anjani selain menangis menyesali kesalahannya yang membuat orang yang di cintainya mati dengan naas demi melindunginya. Tak ada juga yang mau menolongnya, banyak warga yang marah akibat ucapannya, namun tidak sedikit juga warga yang terlihat takut sehingga enggan untuk menolongnya.
"Usir dia !!! Dia telah menghina agama kita !! " ujar laki laki yang pernah sangat mencintai Anjani sambil menunjuk Anjani yang sudah lemas, Anjani hanya berharap anaknya yang di gendong oleh kepala desa tidak menjadi korban selanjutnya kemudian meninggalkannya.