Lambat kaun, ia mulai berpikir untuk menghentikan kebiasaannya yang menurut beberapa temannya aneh dan kurang kerjaan. Tapi ia enggan melakukannya, karena baginya langit yang di teropongnya tiap malam sangat berharga.Â
Di sanalah ia bisa merasa nyaman, bahagia dan penuh dengan rasa antusias walau mungkin yang dilihatnya kebanyakan hanyalah awan hitam dan bintik bintik terang. Tidak ada bintang berekor atau komet, tidak ada bintang yang bergerak jatuh , tidak ada astronot yang mengenakan baju yang sangat di idamkannya. Â
Sambil meneropong, pikirannya terbang, menembus langit yang dicintainya, melayang mencari kambing hitam, putih, atau mungkin abu abu yang bisa menjadi tempat baginya untuk mengarahkan jarinya dengan lantang.
Kenapa ia harus miskin?
Kenapa ia harus mengenal bulan, astronot, hingga komet?
Di mana keadilan Tuhan?
Di mana peran negara untuk orang kecil seperti dirinya?
Ah, andai saja ia orang yang berpengaruh seperti pemuka agama atau mungkin pemimpin kelompok gangster, mungkin ia akan memaki maki dan menantang mereka yang berkuasa. Menghina atau mungkin menyebar fitnah kepada mereka yang menertawakan mimpinya dan merendahkan keluarganya.
Hanya saja...
Ah... iya membuang sedotan merah kucel yang sedari tadi dipegangnya ke sungai.
"Yah kak ...," suara anak kecil yang menyadarkannya akan satu hal..