"Listrik di naikkin, subsidi di cabut, apa apa yang buat rakyat di mahalin. Ini gaya gaya PKI, biar rakyat pada ngemis. ".
Itulah sekilas percakapan singkat yang saya dengar tadi pagi ketika saya berjalan kaki menuju halte busway untuk sekedar menghemat ongkos ke kantor. Tak lebih dari 10 detik saya mendengar percakapan itu. Kasarnya, saya cuma nguping sambil lewat. Tapi yang pasti, orang yang mengatakan hal tersebut berkata dengan nada yang tinggi, seolah muak dengan berbagai kebijakan pemerintah yang di anggapnya mencekik rakyat --atau mungkin dia-.
Kebijakan pemerintah yang mencabut berbagai subsidi yang di anggap tidak produktif memang menimbulkan pro dan kontra. Efisiensi dan efektifitas anggaran menjadi alasan selain keterbatasan anggaran dan banyaknya kebutuhan yang lain seperti infrastruktur yang musti di kejar untuk menjalankan roda perekonomin.
Otak atik dan pengalihan anggaran dari yang konsumtif untuk hal hal yang lebih produktif menjadi satu satunya cara untuk mengakali kekurangan dana untuk pembangunan. Pencabutan subsidi BBM, kenaikan TDL, hingga Tax Amnesty sejatinya adalah cara pemerintah menambah APBN agar bisa melakukan pemerataan pembangunan, terutama untuk daerah daerah yang jarang di jamah. Jika saja kenaikan dan pencabutan subsidi di lakukan dengan tujuan agar rakyat tercekik dan mengemis ngemis kepada pemerintah, -seperti yang saya dengar di jalan tadi -- mungkin sudah lama rakyat yang bergerak dan mencekik balik pemerintah. Toh, Indonesia masih menganut asas demokrasi kan ?? Yang artinya dari, oleh, dan untuk rakyat ??
Jika kita berteriak mengenai kenaikan TDL, pernahkah kita sedikit saja membayangkan bagaimana perasaan mereka yang baru pertama kali rumahnya di aliri listrik ?? Mereka yang selama ini hidup dengan mengharapkan penerangan dari lilin atau mungkin genset --bagi yang mampu- ??
Suatu keputusan memang tak mungkin menyenangkan semua pihak. Tapi bisakah kita lebih bijak dengan melihat kenyataan bahwa ketimpangan dan dana yang di perlukan untuk memeratakan pembangunan yang harus di kejar agar roda perekonomian bisa berputar lebih kencang masih lebih besar di banding dengan APBN yang ada, seraya bertanya  :
- Apa yang bisa saya lakukan untuk negara ??
- Sudahkah saya menghemat pemakaian listrik saya ?? Mencabut charger handphone atau mematikan komputer ketika tidak di gunakan ??
- Sudahkah saya mempunyai NPWP (untuk yang sudah bekerja) ?
- Sudahkah saya membayar pajak dengan benar dan sesuai Undang undang untuk menambah pendapatan negara yang memang sedang kekurangan dana ??
Atau kita lebih memilih menjadi warga negara yang aktif dalam mengkritisi, namun minim solusi dan enggan berkaca diri ?? Berlaku egois dengan terus menuntut hak tanpa mau melakukan kewajiban ?? Mengutip kata kata John F Kennedy : "Ask not what your country can do for you, ask what you can do for your country". Kata kata yang mungkin basi, tapi semoga masih sakti.
Note : ini harusnya di post kemarin kamis 22/06/2017. Berhubung K kmrn sore erorr :D
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H