Mohon tunggu...
surya hadi
surya hadi Mohon Tunggu... Administrasi - hula

Pengkhayal gila, suka fiksi dan bola, punya mimpi jadi wartawan olahraga. Pecinta Valencia, Dewi Lestari dan Avril Lavigne (semuanya bertepuk sebelah tangan) :D

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Wanita di Seberang Rumah

17 Mei 2017   08:57 Diperbarui: 17 Mei 2017   16:16 2028
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ya, begitulah kata orang mengenai wanita pendiam yang ada di depan rumahku. Aku sendiri tak mengetahui cerita itu benar atau tidaknya, toh bagiku zaman pemberontakan yang di ceritakan orang adalah pelajaran sejarah yang terjadi jauh sebelum aku ada. Yang aku lihat, wanita itu hidup dengan tertata dan cukup teratur. 

Setiap senin pagi ia selalu pergi ke pasar, dan selalu pulang hampir setiap pukul setengah delapan, jam di mana aku baru berangkat ke kantor yang jaraknya tak begitu jauh dari rumah sehingga membuat kami selalu berpapasan. Sayur mayur, beberapa bumbu masak dan beberapa buah menjadi tentengan yang wajib bagi wanita itu setia pulang dari pasar. Jarang ia terlihat menenteng daging atau makanan kaleng. Tipe wanita tua yang rajin dan mungkin lebih menyukai hal yang tak instant, atau mungkin juga dia vegentarian, Entahlah, toh tak ada orang yang mengatakan kalau ia vegetarian. 

Setiap selasa dan jumat siang, dia selalu pergi ke sebuah rumah yang ada di perempatan yang berada di ujung jalan dan sama sepinya sambil menenteng dua kantong plastic warna hitam. Rumah sederhana dengan pohon jambu tumbuh besar dan subur hingga menyembul keluar pagar, dimana kadang kadang ketika buahnya sedang lebat lebatnya banyak warga sekitar yang memanjat pohon tersebut –entah dengan izin atau tidak- lalu mengambil buah jambu yang bergelantungan.

“Ke rumah adiknya.. “ 

Begitu kata tetangga sebelah ketika aku menanyakan kemana wanita di depan rumah itu akan pergi setiap selasa dan jumat siang ketika kami sering berpapasan setiap jam makan siang di mana aku memilih untuk pulang, sekedar untuk makan, tidur tiduran, memebri makan anjingku yang kelaparan atau hanya sekedar memberi kabar kepada rumahku yang pastinya kesepian. 

Lalu di hari sabtu sore, ketika senja mulai datang, biasanya ia akan mulai menyiram beberapa pot tanaman cabai yang ada di teras rumahnya yang kemudian dia lanjutkan dengan membasahi seluruh teras rumahnya dan membersihkannya. Seminggu sekali setiap sabtu wanita itu melakukannya dengan perlahan dan pelan pelan, menghindari agar ia tak jatuh terjengkang. 

Dan, menjelang adzan, ketika aku baru pulang kerja, ia pasti sedang menyapu dan menumpuk sampahnya di kantong plastic besar warna hitam yang biasa di angkut tukang sampah tiap akhir dan tengah pekan, bersamaan dengan sampah sampah lain dari dalam rumahnya yang selalu di bungkus rapih dan tak pernah di biarkannya terbuka, apalagi bercecean dan berserakan. Sebelum ia mulai menikmati senja dengan secangir kopi hangat sambil memandang lurus ke depan. Untuk menampilkan sebuah mata yang mungkin sudah lelah dengan harapan namun seolah enggan untuk dilepaskan. Wanita itu mungkin tak pernah sadar kalau harapan adalah ibu yang kadang melahirkan kekecewaan 

Harapan adalah ibu yang kadang melahirkan kekecewaan” ; di kutip dari cerpen Kota Tanpa Kata dan Air Mata karya Noviana Kusumawardhani (Cerpen Pilihan KOMPAS 2013)

Gbr disini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun