Ya, begitulah kata orang mengenai wanita pendiam yang ada di depan rumahku. Aku sendiri tak mengetahui cerita itu benar atau tidaknya, toh bagiku zaman pemberontakan yang di ceritakan orang adalah pelajaran sejarah yang terjadi jauh sebelum aku ada. Yang aku lihat, wanita itu hidup dengan tertata dan cukup teratur.
Setiap senin pagi ia selalu pergi ke pasar, dan selalu pulang hampir setiap pukul setengah delapan, jam di mana aku baru berangkat ke kantor yang jaraknya tak begitu jauh dari rumah sehingga membuat kami selalu berpapasan. Sayur mayur, beberapa bumbu masak dan beberapa buah menjadi tentengan yang wajib bagi wanita itu setia pulang dari pasar. Jarang ia terlihat menenteng daging atau makanan kaleng. Tipe wanita tua yang rajin dan mungkin lebih menyukai hal yang tak instant, atau mungkin juga dia vegentarian, Entahlah, toh tak ada orang yang mengatakan kalau ia vegetarian.
Setiap selasa dan jumat siang, dia selalu pergi ke sebuah rumah yang ada di perempatan yang berada di ujung jalan dan sama sepinya sambil menenteng dua kantong plastic warna hitam. Rumah sederhana dengan pohon jambu tumbuh besar dan subur hingga menyembul keluar pagar, dimana kadang kadang ketika buahnya sedang lebat lebatnya banyak warga sekitar yang memanjat pohon tersebut –entah dengan izin atau tidak- lalu mengambil buah jambu yang bergelantungan.
“Ke rumah adiknya.. “
Begitu kata tetangga sebelah ketika aku menanyakan kemana wanita di depan rumah itu akan pergi setiap selasa dan jumat siang ketika kami sering berpapasan setiap jam makan siang di mana aku memilih untuk pulang, sekedar untuk makan, tidur tiduran, memebri makan anjingku yang kelaparan atau hanya sekedar memberi kabar kepada rumahku yang pastinya kesepian.
Lalu di hari sabtu sore, ketika senja mulai datang, biasanya ia akan mulai menyiram beberapa pot tanaman cabai yang ada di teras rumahnya yang kemudian dia lanjutkan dengan membasahi seluruh teras rumahnya dan membersihkannya. Seminggu sekali setiap sabtu wanita itu melakukannya dengan perlahan dan pelan pelan, menghindari agar ia tak jatuh terjengkang.
Dan, menjelang adzan, ketika aku baru pulang kerja, ia pasti sedang menyapu dan menumpuk sampahnya di kantong plastic besar warna hitam yang biasa di angkut tukang sampah tiap akhir dan tengah pekan, bersamaan dengan sampah sampah lain dari dalam rumahnya yang selalu di bungkus rapih dan tak pernah di biarkannya terbuka, apalagi bercecean dan berserakan. Sebelum ia mulai menikmati senja dengan secangir kopi hangat sambil memandang lurus ke depan. Untuk menampilkan sebuah mata yang mungkin sudah lelah dengan harapan namun seolah enggan untuk dilepaskan. Wanita itu mungkin tak pernah sadar kalau harapan adalah ibu yang kadang melahirkan kekecewaan
“Harapan adalah ibu yang kadang melahirkan kekecewaan” ; di kutip dari cerpen Kota Tanpa Kata dan Air Mata karya Noviana Kusumawardhani (Cerpen Pilihan KOMPAS 2013)
Gbr disini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H