Menonton pertandingan sepak bola, khususnya Piala Dunia, adalah tradisi keluarga saya.
Nyaris tidak ada yang bisa mengganggu momen nonton bareng ini. Saya masih ingat, dua bulan menjelang piala dunia 1998, rumah yang kami huni di Kota Cirebon direnovasi total. Antena parabola yang jadi andalan untuk menangkap siaran televisi terpaksa dibongkar. Alhasil, lebih dari sepekan lamanya kami sekeluarga puasa nonton televisi.
Rumah pun hanya menyisakan ruang tengah dan satu kamar untuk dihuni enam anggota keluarga. Sementara, seluruh bangunan lain sudah rata dengan tanah.
Nyatanya, kondisi rumah yang berantakan bak kapal pecah tidak menghentikan semangat kami untuk larut dalam euforia Piala Dunia. Sehari menjelang laga pembuka antara Brazil dan Skotlandia pada 10 Juni 1998, dengan becak ayah membawa pulang sebuah antena UHF beserta pipa besi panjang serta segulung kawat.
Esok harinya, dibantu para tukang bangunan yang merenovasi rumah, sebuah antena sepanjang 15 meter sukses terpasang di halaman rumah. Maklum, saat itu untuk mendapatkan siaran televisi yang jernih, kita harus memasang antena tinggi tinggi.
Akhirnya, tepat pada hari pembukaan piala dunia, kami sekeluarga bisa menyaksikan Andi Darussalam dan Ronny Pattinasarani membahas susunan pemain dan perkiraan strategi taktik dari pelatih Timnas Brazil, Mario Zagallo dan pelatih Skotlandia, Craig Brown.
Nonton Piala Dunia Mengakrabkan Keluarga
Kisah di atas adalah sepotong cerita yang menggambarkan "sakralnya" nonton Piala Dunia bareng dalam keluarga saya. Alasan mengapa piala dunia punya arti penting, sebenarnya bukan lantaran keluarga saya penggila bola. Selain saya dan ayah, praktis tidak ada anggota keluarga lainnya yang betah berlama-lama menonton 22 pemain menguber si kulit bundar.
Alasan sesungguhnya, dengan nobar Piala Dunia, keluarga saya punya tambahan waktu berkualitas untuk dihabiskan bersama. Dengan kata lain, sepak bola adalah keluarga.
Saat almarhum ayah masih hidup, ada kebiasaan unik yang membuat demam Piala Dunia menular ke rumah saya. Sebagai penggemar klub Arsenal, saya mendukung The Three Lions. Sementara, ayah tidak punya negara khusus yang didukung di Piala Dunia karena seumur hidupnya hanya ada dua tim yang dia cintai; Timnas Indonesia dan PSMS Medan.
Karena itu, biasanya ayah akan mendukung tim apa saja yang berhadapan dengan Inggris. Tujuannya cuma satu: agar bisa mengolok-olok saya jika Inggris keok. Sementara, ibu, adik dan dua kakak saya yang sebenarnya sama sekali tidak gemar bola, akan sukarela mendukung Inggris demi bisa ganti menggoda ayah.