Selain mudik, belanja adalah tradisi yang sama identiknya dengan Lebaran.Â
Hal ini mungkin lekat dengan pemaknaan masyarakat umum mengenai Lebaran itu sendiri. Meski banyak sarjana Islam dan ahli bahasa Arab menganggap keliru pemaknaan tersebut, Idul Fitri sudah umum diartikan sebagai kembalinya manusia ke fitrah.Â
Maksudnya, setelah berpuasa selama 30 hari, manusia lahir kembali menjadi manusia baru yang suci layaknya seorang bayi yang baru lahir.
Karena pemaknaan tersebut, orang yang merayakan Lebaran pun merasa harus tampil serba cantik, ganteng, bersih, putih dan baru saat hari kemenangan tiba.
Tidak heran jika sepekan sebelum Lebaran jalanan akan macet dengan kendaraan dan orang-orang yang keluar untuk tujuan sama: berbelanja.
Di Jakarta, Bandung, Surabaya dan kota-kota besar lainnya, pusat-pusat perbelanjaan mulai dari mall, supermarket hingga pusat grosir seperti Tanah Abang akan penuh sesak dengan lautan manusia.
Saking membeludaknya, kita pun akan kesulitan mendapatkan tempat parkir saat mendatangi pusat-pusat perbelanjaan tersebut.
Kegiatan belanja pun jadi kurang nyaman. Selain tidak bisa puas memilih karena ramainya pengunjung, pusat perbelanjaan besar seperti Tanah Abang pun sedang rawan-rawannya dengan aksi copet.
Tribunnews bahkan melansir berita tentang tertangkapnya pria yang mencopet dengan modus menyamar sebagai emak-emak (7/6).
Keinginan untuk tampil baru dan berbeda saat Lebaran bukanlah monopoli masyarakat kelas menengah dan atas semata. Masyarakat kelas bawah juga punya impian yang serupa. Namun, jika kaum berduit memilih shopping keperluan lebaran di mall dan pusat perbelanjaan modern, orang kecil punya spot belanja favoritnya sendiri.
Salah satu tempat belanja favorit masyarakat kelas bawah adalah pasar malam. Biasanya, sejumlah pasar malam Ramadan mulai beroperasi di pinggiran kota menjelang Lebaran.