Beberapa hari terakhir ini ada sesuatu yang "menggelitik" akal sehat saya.Â
Pangkalnya berasal dari netizen Indonesia yang ramai-ramai membully Sahur On The Road (SOTR). Perundungan masal ini bahkan sempat menjadi trending di sosial media twitter.
Saat membaca cuitan netizen tersebut, secara spontan saya berujar "Memberi makan fakir miskin, kok, "dibully". Salahnya di mana?
Argumentasi netizen yang saya baca bermacam-macam, mulai dari pelaksanaan SOTR yang lebih banyak menimbulkan masalah daripada manfaatnya, hingga SOTR yang tidak dipandang sebagai tradisi Islam atau hal yang Islami.
Padahal, SOTR merupakan budaya asli masyarakat Indonesia. Acara bagi-bagi makanan di jalan ini memiliki akar tradisi dari semangat berbagi masyarakat Indonesia.
Baca Juga: Tiga Mitos Finansial Seputar Ramadan yang Ternyata Menyesatkan
**
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang senang berbagi. Pada 10 hari terakhir Ramadan, orang Jawa biasanya melakukan "Selametan". Ini adalah praktik membagi-bagikan berkat berupa nasi dan lauk pauk ke fakir miskin dan tetangga rumah terdekat.
Sementara, orang Betawi mengenal kegiatan serupa dengan nama "Nyorog". Bedanya, bingkisan yang dikirim pada saat Ramadan bukan makanan siap santap melainkan paket bahan pokok seperti beras, gula dan minyak. Di Bumi Serambi Mekah Aceh, tradisi berbagi ini dikenal dengan nama "Meugang".
Beda dengan masyarakat Betawi dan Jawa, orang Aceh menjalankan Meugang dengan membeli dan memasak daging untuk disantap bersama keluarga dan dibagikan pada fakir miskin. Praktik ini mirip seperti dalam perayaan Idul Adha. Bedanya, Meugang dilakukan pada saat Ramadan.
Terdapat belasan bahkan puluhan tradisi serupa di seantero tanah air dengan nama yang berbeda-beda. Namun, inti tradisinya tetap sama yakni berbagi kepada orang lain yang membutuhkan seperti fakir miskin dan anak yatim-piatu.