Mohon tunggu...
Surtan Siahaan
Surtan Siahaan Mohon Tunggu... Penulis -

Berbahagialah orang yang tidak sukses, selama mereka tidak punya beban. Bagi yang memberhalakan kesuksesan, tapi gagal, boleh ditunggu di lapangan parkir: siapa tahu meloncat dari lantai 20. -Seno Gumira Ajidarma-

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Mengikuti Jejak Damai Diponegoro Menyambut Ramadan

15 Mei 2018   15:46 Diperbarui: 18 Mei 2018   12:21 1720
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tapi nahas bagi Diponegoro. Raja Jawa yang gemar mengunyah sirih tersebut justru tidak bisa menikmati masa Lebaran bersama keluarga dan orang-orang dekatnya. Seperti yang kita ketahui bersama, di hari kemenangan umat Islam pada 27 Maret 1830, de Cock berhasil menipu dan menangkap Diponegoro.

Belanda memanfaatkan kelengahan dan kepolosan hati Diponegoro yang menganggap tidak akan ada orang yang akan berbuat licik dan tidak ksatria saat Lebaran. Namun, tentu saja nilai-nilai tersebut tidak berlaku bagi deCock dan pasukan Belanda yang tidak menganut dan memahami ajaran Islam.

Menghilangkan Permusuhan

Lukisan Pangeran Diponegoro Memukul Patih Danurejo dengan Sandal Karena Skandal Penyewaan Tanah Kerajaan di Rojowinangun/Sumber Foto: Kompas.com
Lukisan Pangeran Diponegoro Memukul Patih Danurejo dengan Sandal Karena Skandal Penyewaan Tanah Kerajaan di Rojowinangun/Sumber Foto: Kompas.com
Puasa bukan sekadar menahan lapar dan haus. Puasa justru memiliki makna untuk meninggalkan dan menanggalkan sesuatu. Inilah makna puasa sangat sulit dilaksanakan. Namun, Diponegoro sebagai seorang muslim menunjukkan kepatuhannya pada ajaran agama. Dia meninggalkan rasa permusuhannya saat akan memasuki Ramadan.

Tentu hal ini tidak mudah karena Diponegoro sangat membenci Belanda. Bukan hanya lantaran Belanda membakar rumahnya di Tegalrejo (sebuah daerah dekat Yogyakarta) melainkan karena Belanda menerapkan kebijakan yang membuat rakyat kecil yakni para petani Jawa hidup dalam kemiskinan.

Belum lagi kerugian besar yang sudah dialami kubu pangeran. Sekitar 20.000 pasukan Diponegoro tewas dalam medan perang. Sikap seperti ini sudah sangat langka. Kini, Ramadan tidak lagi menjadi pengingat bagi kita untuk menghentikan permusuhan dan kebencian. 

Kita tidak lagi malu pada Ramadan untuk melakukan aniaya, kecurangan dan menindas sesama. Padahal, kepada musuh sekalipun Islam mengajarkan kita untuk tetap mengutamakan dan mempelopori perdamaian.

Sebagai refleksi akhir, artikel ini akan ditutup oleh kutipan surat yang menunjukkan betapa Islam adalah agama yang menganjurkan perdamaian. Semoga ibadah puasa kita diterima oleh Allah SWT.

"Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah.

Kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat." (QS. Al-Hujurat: 9-10)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun