Mohon tunggu...
Surtan Siahaan
Surtan Siahaan Mohon Tunggu... Penulis -

Berbahagialah orang yang tidak sukses, selama mereka tidak punya beban. Bagi yang memberhalakan kesuksesan, tapi gagal, boleh ditunggu di lapangan parkir: siapa tahu meloncat dari lantai 20. -Seno Gumira Ajidarma-

Selanjutnya

Tutup

Politik

Peran Strategis Ombudsman RI Dalam Pengawasan Pelayanan Publik

13 Oktober 2015   13:47 Diperbarui: 11 April 2018   16:09 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meski secara kelembagaan lahir sebagai implementasi Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008, dalam tataran ide atau setidaknya cita-cita pelayanan publik, ombudsman bukan hal baru di Republik Indonesia. 

Akar ideologisnya bahkan jauh merentang sejak Presiden Soekarno berpidato pada pembukaan Sidang Konstituante 22 April 1959 di Bandung. Dalam pidato tersebut, Soekarno mengajak majelis sidang merenungkan arti Republik yang menjadi bentuk dari negara kesatuan ini. Secara etimologi, Republik berasal dari Res Publica, sebuah wacana filosofis yang ditawarkan Plato untuk mengidealisasi negara yang mencerminkan kekuasaan public/rakyat. 

Soekarno pun mempertajam arti Res Publica sebagai negara yang bukan diperuntukkan bagi kepentingan satu orang atau kelompok, melainkan negara yang dimiliki semua rakyat. Negara yang menjadi pelayan publik; yang menyediakan dan memastikan masyarakat dapat mencapai kesejahteraan dan keadilan.

Ide tersebut kemudian diejawantahkan dalam konstitusi negara. Gamblang terbaca dalam UUD 1945 khususnya pasal 28A, 28B, 28C, 28D, 28F, 28H dan 28I. Intisari sekian pasal tersebut sekali lagi menegaskan kewajiban negara melayani semua orang tanpa terkecuali untuk memenuhi kebutuhan hidup dasarnya. 

Namun, dalam kenyataannya pemerintahan dan seluruh organ turunannya, sebagai pelaksana fungsi negara, kerap alpa bahkan mangkir. Yang paling menyedihkan tentu praktik Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang menjangkiti aparatur negara. Korupsi menjadi jurang yang memisahkan masyarakat dari hak atas pelayanan publik yang layak. Negara sebagai Res Publica tidak terjadi.

Untuk mengembalikan fungsi negara pada khitahnya, pengawasan diperlukan agar lembaga-lembaga pelayanan publik tidak menyeleweng. Dalam teori administrasi, pegawasan punya peran penting agar pelaksanaan pekerjaan berjalan sesuai rencana yang telah disusun dan disepakati[1]. Pengawasan harus dilakukan karena aparatur negara maupun orang yang bertugas sebagai penyelenggara pelayanan masyarakat berpotensi koruptif. 

Akan tetapi, pengawasan yang baik bukan sekadar mencari-cari kesalahan namun, mencegah atau untuk memperbaiki kesalahan, penyimpangan, ketidaksesuaian, penyelewengan dan hal-hal lain yang tidak sesuai dengan tugas dan wewenang yang telah ditentukan[2]. Di era Orde Baru, kesadaran akan pentingnya pengawasan muncul di tahun pertama kepemimpinan Presiden Soeharto. 

Dengan inspektorat dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Kenyataannya, metode pengawasan fungsional baik melalui lembaga struktural seperti inspektorat, maupun lembaga independen seperti BPKP tidak cukup memuaskan. Inspektorat dinilai tidak efektif karena tidak mandiri secara organisasi. Apakah inspektorat bisa menjamin netralitas saat mengawasi pimpinan lembaga yang menjadi induk organisasinya?. Sementara pada BPKP, meskipun independen sebagai lembaga, perannya hanya terbatas mengawasi persoalan keuangan. 

Padahal, ruang lingkup pelayanan publik sangat luas meliputi pendidikan, pengajaran, kesehatan, pekerjaan dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan informasi, lingkungan hidup, kesehatan, jaminan sosial, energi, perbankan, perhubungan, sumber daya alam, pariwisata dan sektor strategis lainnya[3]. Tidak bekerjanya sistem pengawasan menimbulkan kekisruhan dalam lapangan ekonomi dan politik orde baru. Cita-cita Res Publica makin jauh dari kenyataan. 

Pemerintahan Soeharto pun jatuh karena kepercayaan masyarakat pada pemerintah berada pada titik terendah. Perubahan akhirnya muncul di era reformasi. Kebutuhan akan lembaga yang mandiri secara struktural dan fungsional, dan bertugas mengawasi jalannya pelayanan publik mendorong Presiden Abdurrahman Wahid membentuk Komisi Ombudsman Nasional (KON). Setelah diatur melalui undang-undang, KON pun berubah menjadi Ombudsman RI.

Di era kontemporer, peran Ombudsman RI terasa kian vital. Menghadapi pasar bebas ASEAN 2015 (Masyarakat Ekonomi Asean), Indonesia harus siap dalam segala bidang termasuk sektor pelayanan publik. Jika pelayanan publik tidak berkualitas, dapat dipastikan Indonesia akan menjadi bulan-bulanan negara lain. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun