Mohon tunggu...
Smith Glerine
Smith Glerine Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Aktivis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Stepbrother (Part 2)

7 April 2012   06:19 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:56 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sambungan dari Stepbrother (Part 1)...

Aku terbangun ketika suara alarm yang berasal dari ponsel berbunyi nyaring tepat di sebelah telingaku. Aku terlonjak kaget. Aku membuka mata perlahan. Dengan mata sipit aku mematikan alarm itu. Aku berdeham di tempat tidur. Memperhatikan sekeliling kamar dengan perasaan bingung. Astaga! Aku berada di kamar yang asing. Kini kejadian semalam kembali terputar dalam benakku. Perasaan kesal timbul dengan mudah tanpa kusuruh. Aku menggeleng-gelengkan kepala dengan cepat. Berusaha mengingatkan diriku untuk melupakan kejadian semalam. Tanpa pikir panjang lagi, aku segera beranjak ke kamar mandi mengingat diriku harus ke kantor.

Aku bergegas meraih peralatan mandiku dari koper. Mengaduk-aduknya hingga berantakan. Ralat. Sebelumnya memang sudah berantakan. Setelah menemukannya, aku melesat ke kamar mandi. Mandi lebih cepat dari biasanya. Dengan berbalut handuk yang besar, aku kembali ke kamar.

Aku berkaca di cermin yang besar. Aku mengenakan kemeja kotak-kotak putih hijau, rok bahan hitam selutut, mengenakan belt, lalu heels yang tidak terlalu tinggi. Hanya 5 cm, karena aku memang tidak betah memakai heels yang tinggi. Rambutku yang panjang kubiarkan tergerai. Wajahku kubiarkan saja tanpa balutan alat make up sedikitpun.

Setelah merasa sudah cukup rapi untuk berangkat ke kantor, aku segera meraih tas jinjing putih favoritku. Memasukkan semua barang-barang pribadiku ke dalamnya lalu melesat pergi. Tentu saja aku mengunci kamarku terlebih dahulu. Ini sudah menjadi kebiasaanku. Karena kamar itu adalah privasiku. Aku tidak mau ada yang mengobrak-abriknya sekalipun itu mama. Aku pasti akan mengamuk jika hal itu sampai terjadi.

Aku menuruni tangga yang meliuk-liuk panjang itu dengan berlari-lari kecil. Ketika melihat ruang makan yang kosong, aku baru menyadari kalau mama dan paman Oriza pasti sudah  berangkat ke kantor. Karena memang sudah kebiasaan mama berangkat ke kantor sebelum jam 7 walaupun jam masuk kantor adalah jam 8 pagi. Mama adalah pimpinan yang super disiplin.

Aku melirik arloji di pergelangan tangan kiriku. Jam sudah menunjukkan pukul 07.30 pagi. Aku sedang malas sarapan. Dan jam masuk kantor pun setengah jam lagi. Aku merogoh ke dalam tas mencari kunci mobil sambil berjalan ke garasi mobil sport-ku.

Nafasku tertahan ketika tiba di garasi mobil. Ban mobilku kempes semua. Ya Tuhan. Ini tidak mungkin. Sebelumnya mobilku baik-baik saja. Tidak ada yang salah. Dan suara mesin mobil dari sebelah mobilku mengagetkanku. Bukan suara mesin mobil yang membuatku kaget, tapi orang yang di balik kemudi itu tertawa puas sambil menjalankan mobilnya meninggalkan diriku yang berdiri mematung seperti orang bodoh.

Aku membanting tasku dengan kesal ke kap mobil yang tidak bersalah. Mengumpat dalam hati dan berdoa agar orang itu mendapatkan pembalasan yang setimpal. Atau mungkin yang lebih buruk dari yang kualami.

Well. It’s okay. Aku tidak mau membuang waktu lagi. Aku segera keluar pagar rumah dan menyetop taksi yang pertama lewat. Sepanjang perjalanan aku tidak bisa menghentikan pikiranku merencanakan pembalasan yang akan kulakukan padanya. Walaupun aku memang tidak bisa menemukan ide yang lebih baik selain menyingkirkannya dari muka bumi ini.

***

Taksi berhenti tepat di depan lobby gedung bertingkat 5. Aku melangkahkan kaki lebar-lebar menuju lift yang terletak di pojok kanan. Dengan sedikit memaksakan diri, aku tersenyum kepada setiap staff yang menyapaku dengan sopan.

Ting..

Lift terbuka tepat di lantai teratas yang merupakan area ku bekerja. Sialnya aku telat 15 menit. Dan mama yang menyadari keterlambatanku dan tentu saja mama tidak memberi ampun. Aku di ceramahi dengan panjang lebar. Mama memang terlalu serius saat bekerja. Tapi aku juga senang karena dia memperlakukanku seperti staff yang lain tanpa memandang kalau aku ini anaknya. Aku ingin menjelaskan alasan terlambatku karena anak barunya yang mengempeskan  seluruh ban mobilku. Tapi, aku mengurungkannya mengingat mama pasti tidak menerima alasan apapun. Pokoknya tidak boleh terlambat. Titik.

Aku kembali ke ruang kerjaku yang besar yang di dalamnya hanya di huni oleh 3 staff designer grafis. Harusnya ada 4 staff karena ada 1 staff yang baru saja mengundurkan diri. Aku terperangah menyadari ruang kerjaku kini ada 4 staff termasuk diriku saat aku baru saja duduk di kursi kerjaku yang nyaman. Di sebelahku kini ada seorang laki-laki yang kukira sebagai staff baru. Aku hanya melihatnya dari belakang karena dia tidak menoleh. Tapi, saat aku sedang menatap punggungnya, dia berbalik dengan tiba-tiba. Dan tentu saja tersenyum. Tapi senyuman yang membuatku merinding. Bagaimana tidak? Dia itu.. Hmm.. Kalian pasti bisa menebaknya.

Okay! Ini sudah keterlaluan. Setidaknya aku berpikir akan sedikit aman saat aku sedang di kantor karena tidak harus melihat batang hidungnya. Kini orang yang sudah membuat emosi ku tidak stabil semenjak kedatangannya itu bekerja di kantor mama. Sebagai desginer grafis. Bukan hanya itu. Dia seruangan denganku dan duduk tepat di sebelah meja kerjaku. Tidak. Aku bisa gila.

Aku harus melakukan sesuatu sebelum aku menjadi benar-benar gila. Aku berdiri dengan kasar sambil menatapnya lekat-lekat ke matanya. Dia tidak memberikan ekspresi apa-apa. Sok calm. Aku benar-benar sudah muak. Dengan langkah cepat dan lebar menuju ke ruangan mama yang berada di lantai yang sama.

“Mama keterlaluan!” Aku membanting pintu tanpa mengetuk terlebih dahulu. Mama tentu saja kaget melihat kedatanganku yang tiba-tiba. Aku belum pernah seperti ini sebelumnya. Mama terlihat lebih shock dari yang kubayangkan.

“Kau kenapa Sey?” Tanya mama yang belum pulih dari kagetnya. Dia membenarkan posisi duduknya dan menatap mataku meminta penjelasan yang sedang berada di ambang pintu.

“Mama jangan pura-pura tidak tahu. Kenapa dia kerja di sini? Kenapa dia seruangan denganku? Kenapa dia duduk persis di sebelah meja kerjaku? Apa mama sengaja? Cukup ma. Aku sudah muak melihatnya.” Aku berkata dengan histeris. Mungkin staff di ruangan sebelah bisa mendengar suaraku dengan jelas. Dan aku tidak peduli.

“Maksudmu Akira?” Tanya mama polos. Keningnya berkerut.

“Siapa lagi.” Kataku tidak sabar.

“Kecilkan suaramu. Nanti kalau di dengar Akira kan tidak enak.” Kata mama datar. Sama sekali bukan respons yang kuharapkan. Setidaknya, aku berharap mama sedikit mengerti tekanan batin yang sudah diciptakan oleh anak barunya itu. Tapi, aku salah besar! Mama malah memikirkan Akira. Gila. Aku tidak habis pikir.

“Aku mau pindah ke kantor sebelah saja.” Kataku akhirnya setelah tidak menemukan kata yang lebih baik lagi.

“Tidak bisa. Di kantor sebelah kan sudah cukup designer grafisnya. Nah di sini kurang. Kau tahu kan, mama memasukkan Akira juga karena dia memang berbakat. Jadi kuharap kau bisa bekerja dengan profesional. Jangan mencampurkan masalah pribadi dengan masalah pekerjaan. Lagian dia itu adikmu. Kenapa kau seperti ini sih?” mama meneliti mataku yang bulat.

Aku hampir putus asa mendengar kalimat yang baru saja mama ucapkan. Sejak kapan dia menjadi adikku? Dia hanya adik tiriku. Aku tidak bisa membayangkan kalau aku harus sekantor dan serumah dengan orang asing ini. Lama-lama mungkin aku bisa mati karena tekanan batin yang terpendam.

Aku kembali ke ruang kerjaku dengan muka sedikit di tekuk. Ralat. Banyak! Aku mendorong kursiku kasar. Dan duduk termenung di depan komputer. Sama sekali tidak mood untuk bekerja. Tidak peduli dengan 3 staff yang mencuri pandang ke arahku sebentar termasuk manusia yang menyebalkan itu.

15 menit berlalu. Aku masih duduk dengan tatapan kosong.

“Sey, design cover novel Yuka sudah selesai?” Suara itu mengangetkanku. Aku mendongak dengan malas. Meico berdiri dengan anggun di depanku. Dia manis tapi sayangnya tidak terlalu tinggi. Mungkin hanya 155 cm yang terpaut 10 cm dariku yang 165 cm.

“Hah? Maaf. Kau bicara apa?” Kataku yang baru sadar dari lamunanku.

Design cover novel Yuka sudah selesai? Sudah di tanya sama bagian percetakan.”

“Oh. Aku sudah menjanjikannya besok. Sudah hampir selesai.”

“Oh, okay. Terima kasih. Kalau begitu aku permisi.” Katanya lembut lalu melenggang pergi ke meja kerja di pojok kiri.

Aku mulai menyalakan labtop pribadiku. Aku memang lebih suka bekerja dengan labtopku dibanding dengan fasilitas kantor. Memilih untuk berkonsentrasi tanpa menghiraukan kehadiran orang asing di sebelahku.

***

“Kenapa sikapnya seperti itu?” tanya Mami polos sambil memotong kecil-kecil kue di hadapannya. Jari-jari mungilnya membuatku gregetan dengan gerakannya yang lambat.

“Itu sih sudah kuprediksikan sebelumnya. Cuma aku tidak menyangka akan seperti ini. Kupikir kalau dia hanya tidak menyukaiku, aku tidak masalah. It’s okay! Tapi bukan hanya itu, dia mulai mengganggu aktivitasku dan mengacaukan segalanya.” Jawabku dengan penuh kekesalan. Kurasa jika Akira ada di sisni, aku akan melemparnya dengan softdrink yang sedang kupegang.

“Hmm.. Lalu bagaimana? Apa yang akan kau lakukan?” tanya Mami sambil memasukkan potongan kue yang sudah dipotongnya itu ke dalam mulutnya menggunakan garpu. Lagi-lagi aku tidak sabar melihat gerakannya yang lembut dan super imut.

Aku mengangkat bahuku sebagai jawaban. Tanganku masih memainkan kaleng softdrink yang masih penuh. Aku sama sekali tidak nafsu makan. Apalagi mengingat kesialanku hari ini semakin membuatku malas.

“Sey, Sey. Lihat ke arah jam 1. Buruan.” Mami menyikut pelan lenganku yang sedang bertumpu di meja bundar kantin kantor. Aku terperangah. Walaupun begitu aku tetap menuruti permintaan Mami karena penasaran. Hanya butuh satu detik untuk melemparkan pandanganku ke arah jam 1 yang di maksud Mami. Aku terperanjat kaget. Di pintu masuk seorang laki-laki baru saja memasuki kantin dengan tatapan kosong dan duduk dipojok yang merupakan satu-satunya tempat yang masih kosong. Maklum saja. Di jam makan siang seperti ini, kantin kantor selalu ramai oleh para staff. Dia sendirian. Ya wajar saja. Mana ada yang mau berteman dengan manusia dingin seperti dirinya. Tanpa sadar aku memakinya dalam hati.

“Sey. Haloo. Sey. Kau dengar aku tidak?” Mami menggerakkan tangan kanannya di depan wajahku. Ternyata aku terlalu asyik dengan pikiranku sendiri tanpa menyadari Mami sedang berbicara kepadaku.

“Ahhh.. Ehh.. Maaf. Tadi kau bicara apa?” Kataku pelan. Aku menatap mata mami yang sipit. Saat berbicara, wajahnya yang bulat memperlihatkan lesung pipinya yang dalam saat sedang bicara. Aku menyukainya. Tentu saja.

“Aku sudah berkata untuk ketiga kalinya Sey. Tadi aku bilang, ku rasa dia itu karyawan baru. Aku baru melihatnya hari ini.” Kata Mami dengan mimik wajah yang sulit untuk dijelaskan. Aku menangkap sesuatu dari matanya.

“Memang.” Jawabku dengan malas. Aku kembali melirik laki-laki yang di maksud Mami. Di mejanya kini terdapat sebuah baki yang berisi burger dan minuman yang aku tidak tahu namanya. Masih utuh. Tidak disentuhnya sama sekali. Dia mengangkat wajahnya dan di saat itulah kami saling bertatapan. Dia menatapku kosong. Masih tanpa ekspresi. Aku memalingkan wajahku saat Mami bertanya lagi kepadaku.

“Kau mengenalnya?” Tanya Mami semangat. Dia mengambil tisu dari tasnya dan mengelap wajahnya yang tidak berkeringat. Rambut panjangnya yang dibiarkan tergerai disibaknya ke belakang dengan gemulai.

Aku menyandarkan tubuhku ke kursi. Menghembuskan nafas berat lalu kembali menatap Mami dengan jengkel.

“Kenapa kau melotot padaku?” protes Mami yang masih tidak tahu di mana letak kesalahannya.

“Tentu saja. Kau tau? Dia itu Akira. Cowok yang baru saja ku ceritakan!” Aku menatap Mami lekat meminta pengertian.

“Hah? Jadiiii.. Dia itu?” Balas Mami histeris. Terlihat sedikit shock. Keningnya kini mulai berkerut.

Aku mengangguk saja untuk memperjelasnya.

“Yah.” Ujar Mami dengan memasang tampang kecewa.

“Yah apanya, Mi?”  Selidikku hati-hati.

“Tadinya ku pikir kalau dia bukan Akira, hmmm..” Wajahnya kini tampak seperti orang yang sedang berpikir keras. Tampangnya lucu dan membuatku ingin tersenyum melihatnya. Mami memang anak yang polos. Lembut. Baik. Tulus. Dia ini satu-satunya teman yang dekat denganku di kantor. Kami berteman sejak dia mulai bergabung dengan perusahaan mama sebagai accounting staff.

Aku kembali teringat kejadian 1 tahun yang lalu. Saat itu aku menumpahkan minumanku di kemejanya. Aku berkali-kali minta maaf. Tapi dia tidak marah sedikitpun. Aku melihat ketulusan di matanya. Sejak saat itu kami berteman baik.

“Sey....” Kata Mami membuyarkan lamunanku. “Kau mendengarkanku tidak?”

Sorry. Aku dengar kok. Jangan macam-macam. Sampai kapanpun aku tidak akan mengizinkanmu untuk menyukainya.” Jawabku tanpa ampun sambil melirik arloji di pergelangan tangan kiriku. “Hmm. Saatnya kembali ke kantor.” Aku segera beranjak dari tempat duduk diikuti oleh Mami.

“Tapi Sey. Dia itu tampan sekali.” Kata Mami dengan wajah memerah. Kali aku ini menatap Mami tidak percaya. Setahuku, banyak staff kantor yang mendekatinya, tapi tidak satupun yang menarik perhatiannya. Tapi kali ini... Arghh.. Memikirkan hal itu semakin membuatku jengkel terhadap Akira.

Okay Mami. Enough! Don’t talk about him again!!” Kataku dengan geram sampai beberapa penghuni kantin melihat ke arahku. Aku tidak menggubris bisikan mereka tentangku.

Saat aku melewatinya hendak berjalan ke luar, dia menatapku dingin lalu tersenyum mengerikan. Hmm. Kalau boleh jujur, padahal aku lebih suka tatapan kosongnya.

***

Malam semakin larut. Jam sudah menunjukkan pukul 12 malam dan mataku masih tidak menunjukkan tanda-tanda mengantuk. Setelah melewati 10 menit lagi dengan bosan, aku akhirnya mengalah dan segera meraih labtopku di yang di letakkan di sebelah meja tempat tidurku. Aku masih dalam posisi berbaring santai.

Setelah menyalakannya, aku segera memeriksa inbox. Ada 1 pesan masuk. Dari Rico. Aku segera klik di pesannya untuk membaca isinya.

From      : Rico

To          : Seyra

Subject  : No Subject

Seyra, maaf baru bisa membalas email-mu. Akhir-akhir ini, aku sedang sibuk kerja dan mengerjakan tugas kuliah. Aku baik-baik saja di sini. Kabarmu bagaimana? Kuliah? Kerja? Oia, katamu papa baru dan adik tirimu akan tinggal bersamamu? Apa sekarang kalian sudah tinggal bersama?

Aku segera mengklik reply dipesannya.

To          : Rico

Subject  : RE: No Subject

Tidak apa-apa co, aku mengerti. Kabarku tidak terlalu baik. Kuliahku lancar-lancar saja. Kerja ada sedikit masalah. Ya, jadi mereka sudah tinggal bersamaku sejak kemarin. Kalau paman, aku bisa menerimanya. Aku bisa melihatnya, dia baik dan tulus. Tapi, anaknya itu sangat membenciku dan ibuku. Dan sikapnya terhadapku membuatku sangat kesal. Bayangkan saja, dia mengusirku dari kamarku sendiri. Di rumahku sendiri. Bahkan tadi pagi dia mengempaskan semua ban mobilku. Tidak hanya itu, dia juga kerja sekantor denganku. Satu ruangan dan duduk tepat di sebelahku. Aku hampir gila.

Selesai menulis aku segera mengklik tulisan send. Aku menghembuskan nafas berat berkali-kali. Tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Tapi aku jelas mengerti satu hal. Hari-hariku bakal menjadi mimpi buruk.

***

Bersambung...

*mohon saran dan kritik yang jujur dari kakak-kakak kompasianer, karena sangat penting bagi saya yang hanya seorang penulis pemula. Tq.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun