Mohon tunggu...
Super Hype
Super Hype Mohon Tunggu... -

just no one

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ekonomi Kerakyatan Indonesia Mengenang Bung Hatta

8 Juni 2010   11:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:40 909
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mohammad Hatta merupakan salah satu sosok “founding fathers” Indonesia yang eksistensinya patut diacungi jempol. Pemikiran dan sejumlah gagasannya yang bernilai nasionalis dan pro-rakyat, membuatnya menjadi tokoh yang terus dikenang hingga sekarang. Kekaguman terhadap Bapak Ekonomi Kerakyatan ini, membuat Prof. Dr. Sritua Arief mengabadikan pemikiran – pemikiran Bung Hatta dalam sejumlah buku karangannya. Salah satunya adalah: “Ekonomi Kerakyatan Indonesia Mengenang Bung Hatta”. Sritua Arief merupakan pemikir strukturalis yang menekankan sifat hubungan ekonomi antara aktor – aktor ekonomi dalam masyarakat atau dialektika hubungan ekonomi dalam masyarakat. Memandang seluk beluk perekonomian suatu bangsa, tidak akan lengkap tanpa mengetahui sejarahnya. Inilah yang dapat dipahami melalui tulisan Sritua Arief. Karena itu, penting baginya untuk menganalisa dimensi – dimensi yang lebih luas untuk dapat memahami dialektika yang terjadi, khusunya mengenai konstelasi peninggalan feodalisme dan kolonialisme.

Sejarah bukan hanya merupakan rangkaian peristiwa, tetapi mencakup aspek – aspek yang melatarbelakangi dinamika sejarah tersebut. Karena itu, dalam membahas sejarah perekonomian Indonesia pun kita tidak dapat melupakan era kolonial sebagai salah satu bagian penting dari sejarah perekonomian negeri ini. Seperti yang kita ketahui semasa era pemerintahan Soekarno, Indonesia masih terus dirongrong kekuatan kolonial. Pada masa itu juga, berbagai upaya sistematis dilakukan untuk mengoreksi warisan struktural yang ditinggalkan kolonialisme. Tetapi justru pada titik itulah kekuatan kolonial berusaha keras menikung Soekarno di tengah - tengah situasi perang dingin yang menyelimuti dunia ketika itu.

Pada bagian awal buku, Sritua Arief menjelaskan bagaimana posisi ekonomi rakyat Indonesia yang terjadi sekarang merupakan produk dari keadaan di zaman kolonial Belanda. Dimulai secara sistematis dengan sistem tanam paksa (cultuurstelsel), ketergantungan ekonomi Indonesia yang kini semakin membelenggu, dan akhirnya menimbulkan hubungan eksploitatif berupa rente ekonomi Indonesia yang menjadi parasit ekonomi nasional. Secara politik kita memang telah terbebas dari penjajahan kolonialisme, tapi kenyataannya masih ada bentuk bentuk neokolonialisme yang bersarang dalam struktur ekonomi-politik di Indonesia. Kemerdekaan Indonesia secara simbolis memang terjadi, namun Sritua Arief menilainya sebagai kemerdekaan semu: sebuah ilusi kemerdekaan.

Proses timbulnya hubungan eksploitatif ini, berawal dari strategi pembangunan di masa Orde Baru. Pada masa itu, sistem yang ada cenderung berpijak pada gagasan Neoklasik kuno yang berkiblat pada pertumbuhan ekonomi sebagai fokus utama pembangunan. Disini faktor modal dan teknologi menjadi penting. Berbagai bentuk rangsangan diberikan kepada kelompok pengusaha untuk melaksanakan proses produksi di mana faktor modal dan teknologi memegang peranan yang paling menentukan. Sejalan dengan itu, muncul mekanisme “trickle down effect” dimana melalui strategi pembangunan yang demikian, akan terjadi proses harmonis yang akan menyebarkan manfaat pertumbuhan ekonomi ke seluruh strata masyarakat. Konsep ini percaya kalau akhirnya keuntungan pengusaha memberikan keuntungan bagi orang yang ekonominya lemah. Saya akan menganalogikannya dengan gelas berisi air : jika air dituangkan hingga penuh ke dalam sebuah gelas maka air itu akan tumpah. Tumpahan inilah yang dianggap akan memberikan keuntungan bagi golongan ekonomi lemah.

Namun kenyataan di lapangan tidak seideal yang digambarkan melalui mekanisme “tetesan ke bawah” tadi. Pelaksanaan pembangunan dirasa tidak mempertimbangkan masalah sosial seperti penyerapan tenaga kerja, kemiskinan, distribusi pendapatan dan kekayaan, dan dampak teknologi yang digunakan dalam proses pembangunan. Yang terjadi justru pemegang modal malah “memperbesar gelas”nya, sehingga memperbesar keuntungan mereka sendiri. Baik dengan cara memperkecil gaji buruh, menguasai berbagai sektor, dan bentuk “penjajahan” lain. Yang kuat menjadi semakin kuat, dan yang lemah menjadi semakin lemah.

Tiga bentuk eksploitasi yang terjadi adalah eksploitasi pada buruh, pengusaha kecil, dan konsumen. Ekploitasi terhadap buruh terjadi karena adanya anggapan bahwa buruh merupakan golongan kuli yang tidak punya peluang untuk melakukan tawar menawar dalam proses produksi dan situasi surplus buruh menyebabkan meningkatnya jumlah buruh sehingga mereka bersedia dibayar murah selama mendapatkan pekerjaan, akibatnya tingkat kemakmuran mereka berada di bawah rata – rata. Eksploitasi terhadap pengusaha kecil terjadi karena dominasi kepemilikian bahan baku oleh unit – unit usaha besar dan banyaknya penguasaan asing dalam unit – unit usaha kecil, seperti industri perabot di Cirebon dan Jepara, industri pakaian jadi, pertenunan di Bali, dan jasa – jasa perdagangan di Bali (hal: 43). Akibatnya, indeks nilai tukar mereka melemah. Eksploitasi konsumen terjadi karena mereka dihadapkan pada situasi pasar yang monopoli atau oligopoli yang kolusif. Beban konsumen juga semakin berat karena meningkatnya harga barang akibat pajak tak langsung. Selain itu, hubungan eksploitatif ini diperparah dengan adanya investasi asing dan hutang luar negeri. Pada akhirnya hal ini memposisikan Indonesia sebagai sasaran empuk  bagi penghisapan surplus ekonomi oleh pihak asing. Tingginya komponen sumber – sumber keuangan di dalam negeri telah digunakan untuk membiayai investasi asing. Akhirnya Indonesia sendiri yang menjadi pemasuk surplus ekonomi yang setia dengan pihak asing.

Sejumlah masalah ekonomi, sosial, dan politik yang tidak teratasi, kini semakin membuat Indonesia terpuruk. Ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia gagal mengemban tugas awal revolusi kemerdekaan, yakni revolusi kebangkitan. Revolusi kebangkitan harus mengandung dua sisi, sisi pertama adalah revolusi nasional untuk mengenyahkan kolonialisme dan imperialisme asing. Sisi kedua, revolusi sosial untuk mengoreksi struktur sosial - ekonomi. Restrukturasi sosial – ekonomi harusnya menjadi program utama dalam mengisi kemerdekaan. Seperti mengutip ungkapan Sritua Arief, “Kemerdekaan bukan untuk kepentingan kemerdekaan itu sendiri, tetapi hanya merupakan syarat untuk tetap dapat melakukan koreksi yang fundamental dalam tatanan sosial dan tatanan hubungan ekonomi di dalam masyarakat” (hal: 59).

Setelah membaca buku ini,dapat dipahami bahwa pemikiran Sritua Arief sangat terinspirasi dari sosok Bung Hatta. Baginya, pasar dalam negeri yang ditopang oleh kekuatan daya beli domestik haruslah dijadikan sebagai penentu arah pembangunan. Reformasi dan restrukturisasi memang dibutuhkan, namun bukannya pergeseran struktural dari sektor pertanian ke sektor industri karena adanya liberalisasi. Industrialisasi bagi Hatta tidak sepenuhnya salah. Hatta menginginkan industrialisasi yang ditempuh secara berangsur-angsur, namun tidak boleh mengabaikan fakta bahwa Indonesia adalah Negara agraria. Penghidupan rakyat mestilah pertanian. Hatta tidak mengingkan ketergantungan hasil pertanian kepada negara lain. Artinya, sektor pertanian harus dijadikan sebagai fondasi pembangunan yang mendorong pertumbuhan sektor industri. Pertanyaannya, bisa?

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun