Sangat menarik kesimpulan dan rekomendasi dari R20, yang dilaksanakan di Pulau Dewata Bali, 2022;Â
"Topik utama R20 ini adalah bagaimana upaya para pemimpin Agama  untuk menjadikan agama berhenti sebagai bagian dari masalah dan mulai menjadi bagian dari solusi. Bagaimana agama bisa menyediakan Inspirasi Spiritual untuk mencari jalan keluar dari berbagai masalah global" KH. Yahya Cholil Staguf-Ketua Umum PBNU
Tidak dapat dipungkiri, agama kerap menjadi bagian dari masalah, masalah global, regional maupun lokal bahkan internal. Perbedaan agama menjadi penyekat, jurang pemisah. Tidak jarang seorang yang dianggap tokoh agama menyerukan kepada umatnya untuk tidak bergaul dengan orang berbeda iman dengan berbagai alasan, bahkan mengobarkan permusuhan dan kebencian atas dasar agama dan iman.
 Bagi Bangsa Indonesia, cita-cita awal, agama adalah jalan bagi setiap orang untuk 'berhubungan'dengan Yang Kuasa, Sang Penciptanya. Sebuah tujuan yang amat mulia, dimana masyarakat akan membangun religiusitas dengan berlandaskan nilai-nilai luhur agama.Â
Namun perkembangan selanjutnya, agama bahkan menjadi alasan berbagai tindakan deskirminasi, sampai pada timbulnya politik identitas dengan bermodal ayat. Bagi bangsa yang plural ini, agama akhirnya menjadi bagian dari masalah.Â
Belum lagi, upaya mengkafir-kafirkan di luar agama bahkan diluar kelompoknya. Lebih parah orang kafir hartanya boleh di rampok atau diperkaos. Dalam titik ini agama bukan saja menjadi bagian dari masalah tetapi membawa bencana bagi kemanusiaan. Â Agama dapat menjadi sumber bencana. Saya yakin, turunnya ajaran agama tertentu memiliki maksud dan tujuan mulia, bukan membawa bencana.Â
Agama dalam konteks internal juga tidak kalah seru ! Berbagai kericuhan timbul karena perbedaan-perbedaan doktiner dan liturgi. Sayangnya kerap terjadi persekusi, intimidasi atas nama kebenaran. Apakah wajah kebenaran sedemikan menyeramkan dan menakutkan ? Padahal persekusi dan intimidasi bukan cara-cara yang dianjurkan oleh agama.Â
Ada sejumlah pandangan dan prediksi, jika "wajah agama" tidak berhasil berbenah, di masa depan, umat manusia tidak lagi menghargai "agama." Sesuatu yang menjadi bagian dari masalah akan ditinggalkan ketika masyarakat menginginkan kehidupan yang lebih baik. Masyarakat yang literat, diprediksi tidak akan menerima agama dalam wajah sadis dan menjadi tragedi kemanusiaan.
Olehnya, seruan dari Ketua Umum PBNU sangat tepat dilontarkan ketika Milenial dan Gen Z saat ini menjadi "pengamat" baik pasif maupun aktif dari sepak terjang tokoh-tokoh agama sekaligus berbagai keresahan yang terjadi atas nama agama maupun kebenaran.Â
Agama mestinya memang menjadi bagian dari solusi bagi permasalahan global, bukan justru sebaliknya menjadi bagian dan sumber dari masalah. Agama harusnya menawarkan cara-cara damai namun cerdas dalam menyelesaikan berbagai persoalan.
 Setiap pemeluk agama mestinya berkembang kearah kedewasaan berpikir dan dewasa spiritual sehingga tidak perlu lagi mempersoalkan perbedaan. Orang yang belum matang dalam beragama selalu marah ketika melihat perbedaan dan ketika orang lain tidak meyakini apa yang diyakini. Soal keyakinan adalah "hak prerogratif" setiap orang.
Orang yang dewasa juga tidak perlu repot mengurusi iman dan keyakinan orang lain. Sebab ada banyak hal yang dapat dikerjakan bersama, baik dalam satu iman maupun lintas iman, misalnya upaya peningkatan Literasi, Pengentasan Kemiskinan, Peningkatan taraf kesehatan, pendidikan, kerjasama dalam penanggulangan bencana dan masih banyak lagi !Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H