Aku Menemukanmu, Tapi Kehilanganmu
Paduka tiba dengan sangat tergesa. Sementara Api perabuan sudah siap. Ditatapnya sosok wanita yang terbaring diatas tumpukan kayu. Wajah yang dulunya bak cahaya bulan itu kini redup.
"Aditya, katakan ! apa yang terjadi ! Ini Pasti terjadi sesuatu !"
Semua orang disana menunduk tersedu. Seseorang harus didorong kehadapan Yang Mulia, yang wajahnya memerah.
"Paduka, Sati pulang dari desa yang terserang wabah, kondisinya semakin lemah, hanya bertahan tiga hari" Suami Sati menjawab dengan terbata. Seorang Shaman tua mendekat. "Yang Mulia, hamba sudah memeriksa dan mencoba menolong, Nyonya Sati tidak tertular wabah, tapi hamba tidak mampu menyelamatkan." Kalimat Shaman tua itu tertahan
"Racun, dia kena racun ? Siapa yang berani melakukannya ?"
Wajah Raja memerah menahan amarah dan kesedihan. "Aku melindungi negara ini, para musuh pun bergetar hanya mendengar namaku. Tapi aku sungguh tak mampu melindungi satu orang saja"
"Paduka, kita harus melanjutkan upacaranya. Mereka menunggu paduka terlalu lama". Suami Sati dan pendeta memberikan obor itu ke tangan sang Raja. Aditya harus membantu agar obornya tak jatuh. Sang Raja yang perkasa kini bahkan tak mampu menggenggam obor. Sambil berdoa sejenak pada Surya, Dewa Pujaannya, Sang Raja dengan sangat berat menelakkan obor itu dan api secara cepat melahap kayu dan membakar tubuh orang yang paling dicintainya itu. Teringat kembali, dua belas tahun lampau, Shaman muda ini telah menyelamatkannya dari maut. Bukan hanya sekali bahkan berkali-kali. Pangeran berpikir ini adalah takdir kehidupannya. Ia jatuh cinta dan setiap pagi menemuinya, menatapnya di kuil dan kembali untuk berlatih sebagai pemegang tahta. Dalam ingatan tentang Wanita itu, Raja tersungkur, tak sadarkan diri !
Hari itu, tahun kedua setelah penobatannya sebagai Raja, Aditya, keponakan terkasih sekaligus orang kepercayaannya menghadap.
"Aditya, aku tahu ada yang ingin kau sampaikan"