Ttyena jyoti sa viasva
Rgveda X.56.1
"Wahai umat manusia, milikilah mata ketiga dari pengetahuan itu."
Debat dan dialog tidak dapat dihindarkan dewasa ini, baik yang sifatnya formal maupun informal. Tidak jarang debat dan dialog mampu merintuhkan keimanan seseorang. Donder (2006 :2), Surpi Aryadharma (2011 : 126) menguraikan ada tiga peristiwa penting debat teologis yang berakhir dengan hilangnya keyakinan terhadap Hindu.
Pertama, Raja Majapahit (Brawijaya V) tidak mampu melakukan dialog teologis dengan Sunan Kalijaga, yang berujung pada konversi agama ke Islam. Kedua, sejumlah sumber menunjukkan Raja Buleleng A.A Pandji Tisna tidak mampu melayani atau memenangkan debat teologis dengan para zendeling sehingga masuk Kristen dan mendirikan gereja. Ketiga kekalahan debat dan adu kesaktian tokoh leak dengan seorang misionaris menjadi sejarah kemunculan agama Kristen di Buduk, Dalung dan Untal-Untal, di Kabupaten Badung Bali.
Selain itu, peristiwa bersejarah runtuhnya kerajaan Hindu Kutai Kertanegara menjadi kesultanan Islam ditandai dengan masuk Islamnya sang Raja setelah kalah berdebat dengan penyebar Islam. Raja Makota Mulia Alam yang memerintah sekitar abad ke-14 didatangi oleh dua orang mubaligh dari tanah Bugis yakni Syekh Yusuf atau Tuan Tuanggang Parangan dan Abdul Kadir Chatib atau Tuan Di Bandang[1] Â setelah kalah berdebat teologis tentang kebenaran yang dianut oleh Raja dan Rakyatnya dibandingkan dengan ajaran Islam, dilanjutkan dengan adu kesaktian dan jika kalah Raja bersedia masuk Islam.
Raja akhirnya kalah dan kerajaan Hindu berubah menjadi kesultanan Islam, yang pada abad ke-16 kerajaan ini menyerang Kerajaan Kutai Martadipura terletak di Muara Kaman (Kutai Mulawarman). Raja Kutai Martadipura, Dharma Setia, sebagaimana namanya gugur sebagai seorang yang beragama Hindu.Â
Oleh karenanya, Tarka-Vada mestinya menjadi pembelajaran setiap Universitas Hindu, Organisasi Hindu, pelajaran Agama Hindu, materi dalam penggodokan kaderisasi Hindu, mempersiapkan Dharma Duta Hindu, Dharmapracharaka atau calon pemimpin organisasi Hindu. Sebab pengetahuan ini sangat penting guna menjelaskan dan menjaga Dharma. Kemampuan menjelaskan sangat penting dan kelihaian untuk keluar dari jeratan doktrin lawan yang hanya bertujuan mengalahkan juga sama pentingnya.
Asi Sankaracarya mengunjungi Sarvajapha (Sharada Peeth) di Kashmir (sekarang di Pakistan-Kashmir). Negara Madhaviya Shankaravijayam candi ini memiliki empat pintu untuk sarjana dari empat arah mata angin. Pintu selatan (mewakili India Selatan) tidak pernah dibuka, menunjukkan bahwa tidak ada ahli dari India Selatan telah memasuki Sarvajna Pitha. Adi Sankaracarya  membuka pintu selatan dengan mengalahkan dalam perdebatan semua ahli dalam semua berbagai disiplin ilmu yang skolastik seperti Mimamsa, Vedanta dan cabang lain dari filsafat Hindu; ia naik tahta kebijaksanaan Transenden candi itu. Menjelang akhir hidupnya, melanjutkan perjalanan ke daerah Himalaya Kedarnath-Badrinath dan mencapai Videha mukti (kebebasan dari perwujudan).
Sudah menjadi tugas dari kaum cendekiawan, para sarjana, terlebih sarjana/magister Filsafat Hindu untuk menguasai keahlian di akarcrya dan orang suci lainnya ini. Dengan pengetahuan yang baik dan penguasaan Tarka-Vada, akan sangat bermanfaat bukan saja demi kepentingan dialog dengan umat lain melainkan meyakinkan umat sendiri akan kebenaran ajaran agamanya. Sepanjang ini, titik inilah yang lemah, yakni para penceramah belum mampu meyakinkan kebenaran dan belum mampu membahasakan secara baik kepada masyarakat luas sehingga mendorong terjadinya transformasi di masyarakat. Padahal peran kaum cendekiawan sangat besar dan membangun masyarakat di segala bidang.