Mohon tunggu...
Suroto Yusuf
Suroto Yusuf Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menolak Suara Saya di Pileg 2014 Dijadikan "Presidential Threshold 2019"

9 Agustus 2018   15:58 Diperbarui: 9 Agustus 2018   16:02 402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sampai H-1 batas pendaftaran capres-cawapres untuk Pilpres 2019, Mahkamah Konstitusi (MK) belum juga memutus perkara gugatan presidential threshold. Hal ini membuat saya berprasangka bahwa MK mencoba bermain aman. Gerak-gerik MK kini turut mempertimbangkan konstelasi politik yang terjadi; bukan lagi semata-mata bernafaskan konstitusi.

Saya paham logika dan akal sehat Pemilu Serentak 2019. Sebagai negara yang menganut sistem presidensial, sudah seharusnya Pilpres dilakukan lebih dahulu seperti di Perancis, atau setidaknya diserentakkan seperti sebagian Pemilu di Amerika Serikat. Tentu saja pelaksanaannya sesuatu dengan dengan originalitas nafas dan jiwa dari UUD 1945.

Yang saya tolak adalah penggunaan presidential threshold yang dijadikan syarat parpol atau gabungan parpol mengajukan capres-cawapres di Pilpres 2019. Pertama, karena tak ada Pemilu serentak di negara-negara manapun yang masih menggunakan presidential threshold. Kedua, karena presidential threshold adalah tindakan penzaliman rakyat, laku penipuan atas suara rakyat.

Pasalnya, saat dahulu saya mencoblos di Pileg 2014, sama-sekali tak disebutkan informasi tersebut. Yang saya pahami, suara saya tersebut berguna untuk menentukan kader-kader parpol yang akan mengisi kursi DPR.

Waktu pileg 2014 itu juga jelas diinformasikan, bahwa hasil pemilu legislatif akan menjadi presidential threshold. bagi Pilpres yang dihelat tiga bulan sesudah Pileg. Tetapi, tak satupun informasi yang menyebut bahwa suara saya akan menentukan presidential threshold untuk Pilpres 2019.

Jadi menurut saya, presidential threshold untuk Pilpres 2019 ini tak lebih dari implementansi dari kekuasaan yang cenderung bermain-main dengan perundang-undangan. Ada tindakan menklaim dan mencatut suara rakyat yang dilakukan oleh penguasa di sini.

Lebih jauh lagi, presidential threshold untuk Pilpres 2019 adalah satu tindakan penzaliman rakyat. Sebagai pemilih di pileg 2014, saya benar-benar merasa tertipu karena saya tak pernah bermaksud menjadikan suara saya itu tambahan materi untuk menentukan presidential threshold pada Pilpres 2019.

Kalaupun penguasa hendak memaksakan logika ini, maka penerapannya tidak bisa pada Pilpres 2019.  Penerapannya hanya layak dilakukan pada Pilpres 2024. Karena pada pemilu serentak 2019 kelak, pemilih sudah diinformasikan dengan lengkap, jelas, dan jernih bahwa hasil Pileg 2019 adalah pilihan caleg tertentu sekaligus jadi presidential threshold Pemilu Serentak 2024.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun