Aku mengenalnya dengan sebutan Mbah Suro. Sosok kalem yg menyejukkan dengan senyum yang menawan. Pertama kali jumpa saat kami sedang mengantri wudlu shalat ashar dan iqomah sudah disenandungkan. Beliau mengantri di belakangku. Aku menoleh dan beliau tersenyum. Kutawarkan untuk mendahuluiku, beliau dengan santun menjawab, "silakan nak, sudah menjadi hakmu yg datang duluan. Shalat itu disegerakan bukan untuk terburu-buru." Aku tersenyum dan kulanjutkan dengan berwudlu.
Bada shalat ashar kita bercengkerama topiknya masih sama mengenai antrian. Aku bercerita mengenai seringnya bertemu dengan sosok orang tua yang menyerobot antrian apalagi jika yang didepannya adalah orang yang lebih muda. Beliau kembali tersenyum dan berkata,
"Jangan dibiasakan mengambil hak orang lain. Memang kewajiban orang muda untuk menghormati orang yang lebih tua. Tapi jangan lupa jika orang tua juga berkewajiban menyayangi dan memberi contoh orang yang lebih muda. Jika yang muda terbiasa melihat contoh salah itu maka akan tertanam di benaknya suatu saat jika tua nanti dia merasa berhak untuk mengambil hak orang lain."
"Bagaimana jika ada keperluan mbah?"
"Sampaikan dengan baik dan sopan, mbah rasa semua orang akan dengan senang hati membantu. Indonesia tidak akan maju jika semua orang terbiasa ngambil hak orang lain. Dimulai dari pembiaran pengambilan hak yang kecil. Lama-lama kelamaan hak yg besar akan diembat juga. Itulah asal mula budaya korupsi. Korupsi dimulai dengan pengambilan hak orang lain, meskipun itu yg kecil."
"Iya juga ya mbah. Capek aku denger korupsi di Indonesia mbah, cerita tentang korupsi kayaknya gak pernah selesai. Kapan kira-kira ya mbah korupsi di Indonesia bisa selesai?"
"Korupsi di Indonesia bisa selesai saat orang Indonesia sudah bisa antri dengan baik. Saat kemacetan di jalan tidak ada lagi disebabkan sumbatan kendaraan dari arah berlawanan atau tumpukan melebihi marka jalan. Saat sampah tidak dibuang sembarangan."
"Kok bisa mbah?"
"Iya nak, saat itulah orang Indonesia sudah tau mana hak dia, mana hak orang lain dan bisa menghormati hak-hak orang lain."
"Kapan itu ya mbah? Kok sepertinya masih perjalanan panjang."
"Bukankah kita semua sedang mengalami perjalanan panjang? Sebuah perjalanan menuju keabadian."
"Kok perjalanan menuju keabadian sih mbah? Bukannya semua orang pasti mati?"
Beliau hanya tersenyum. Kali ini senyumnya penuh misteri. Dia berdiri dan berkata sambil lalu "suatu saat kamu akan mengerti dan pahami.."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H