Jadi dalam satu ujian semester selama 11 hari, jumlah kertas lembar jawaban yang bersirkulasi di ruang numerator bisa mencapai 80.000 kertas lebih.
Setelah para pengawas ruang ujian mengumpulkan lembar jawaban di tempat yang telah dipisahkan perkelas, tugas pertama seorang nomerator adalah mengabsen lembar jawaban yang masuk, hal itu untuk memastikan lembar jawab dari satu kelas yang sebelumnya terpisah di beberapa ruang sudah lengkap. Juga agar tidak ada lembar jawaban dari kelas lain yang tercampur. Jika belum lengkap, mereka tidak boleh melanjutkan pekerjaan ke langkah selanjutnya, mereka harus tahu ke mana perginya lembar jawab tersebut terlebih dahulu dan dan menemukannya.
Setelah lembar jawaban dari satu kelas pada satu mata pelajaran sudah lengkap, mereka akan menulis nomor yang sama pada lembar jawaban dan lembar identitas diri. Penulisan nomor tersebut tidak boleh sembarangan, ada beberapa mekanisme yang harus dipatuhi.Â
Pertama dan yang paling penting, nomerator tidak boleh menulis nomor yang sama dengan nomor absen santri tersebut di kelasnya. Kedua, tidak boleh pula menulis secara urut dari belakang. Yang jelas, pemberian nomor pada lembar jawaban tidak boleh membentuk suatu pola tertentu, harus secara acak.
Setelah selesai memberi nomor, setiap numerator melaporkan hasil pekerjaannya kepada panitia ujian, langsung berhadap-hadapan. Untuk kedua kalinya, panitia ujian memeriksa agar tidak ada satupun lembar jawaban yang belum diberi nomor, dan memastikan bahwa pemberian nomor tidak membentuk suatu pola tertentu.
Kemudian bersama panitia ujian, numerator melepas semua kertas identitas diri dari lembar jawabnya, jadilah lembar jawaban itu tidak diketahui milik siapa karena tidak ada tanda lain selain nomor acak yang ditulis oleh nomerator. Nantinya, hanya panitia ujian sajalah yang tahu suatu lembar jawab milik siapa karena mereka saja yang menyimpan lembar identitas diri itu. Hal tersebut juga mengingat bahwa panitia ujianlah yang bertugas memasukkan nilai ujian para santri.
Pada tahap akhir, nomerator memasukkan lembar jawab yang sudah 'ditelanjangi' itu ke dalam satu amplop lalu menyegelnya. Selanjutnya adalah tugas tim lain bernama distributor untuk menyerahkan amplop tersebut kepada para pengajar setiap materi.
Ketika mengoreksi, seorang pengajar hanya mendapatkan lembar jawab tanpa identitas diri, hanya ada nomor-nomor acak yang nantinya digunakan untuk mengidentifikasi suatu lembar jawab dalam proses memasukkan nilai. Hal ini tentu membuat seorang pengajar tidak mengetahui lembar jawab milik siapakah yang sedang ia koreksi, ia tidak berkesempatan untuk meninggikan nilai seseorang dari yang lain karena suatu alasan.Â
Seorang guru tidak bisa memberi bonus nilai karena seorang santri berasal dari daerah yang sama dengannya, atau seorang santri adalah anggota klub olahraganya, dan lain sebagainya. Pilihannya hanya ada satu: mengoreksi semua lembar jawaban secara objektif.
Meskipun Gontor sangat memperhatikan akhlak setiap santrinya, pada ujian tulis, santri yang akhlaknya kurang, bahkan terhadap pengajar di kelasnya sekalipun tetap mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan nilai tinggi sebagai hasil dari belajarnya. Meskipun santri yang kurang baik akhlaknya tentu akan mendapat konsekuensi lain.
Dalam ujian tulis di Gontor, semua santri mendapatkan hak dan kesempatan yang sama untuk berkompetisi tanpa memandang siapa diri mereka dan apa yang mereka miliki. Apakah tidak taat kepada guru, atau mereka yang terkesan sangat berbakti kepada guru karena sering mengirimkan titipan camilan dari orang tuanya, dan siapapun saja, semuanya mendapat kesempatan yang sama untuk dinilai secara objektif, sesuai dengan hasil belajar mereka yang dituangkan dalam lembar jawab ujian.