Mohon tunggu...
Suri Wahyuni
Suri Wahyuni Mohon Tunggu... Guru - Seorang pendidik

Guru di SMP Negeri 1 HINAI, menyenangi kegiatan membaca dan menulis praktik-praktik baik semoga bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ledek Bagas

9 Mei 2022   22:47 Diperbarui: 9 Mei 2022   22:52 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pakaian ku basah oleh keringat. Tak terasa satu jam berlalu, aku turut serta mencabuti rumput di halaman kelas. Maklum libur puasa dan lebaran selama 20 hari berhasil membuat semak halaman kelas. "Ayo kita siapkan, rumput-rumput disebelah sini masih belum dicabut nih" ucap ku memberi semangat. "Bagas, ayo cepat masukkan tumpuk kan rumput  ini kedalam tong sampah. Sekalian cabut sedikit lagi nih rumput nya. Suaraku nyinyir. "Loh, malah di cium tong sampah nya?" tanyaku heran. "Iya bu, enggak enak baunya". "MasyaAllah, sudah pasti enggak enak baunya, itu kan sampah dedaunan kering yang basah Bagas?". Bagas tersenyum kecut. Tanpa sadar Bagas mengulang kembali mencium tong sampah yang berisi dedaunan kering yang basah. Teman-teman Bagas yang melihat kejadian itu tertawa. "Ayo Bagas, cepat sigap. Nanti masuk BP lagi loh" ledek Andika menimpali. "Iya, pas kali saat itu ada mamak ku yang mau ambil KTP". Jawab Bagas seolah-olah menyindir aku atas rasa tidak nyaman nya saat itu.

 "Ohh, jadi malu ya, ketahuan mamak lagi dimarahi guru?" tanyaku menyelidik ingin tau perasaan Bagas. "Iya lah Bu, mamak mau ambil KTP yang terletak di bagasi sepeda motor Bagas". Dengan cepat Bagas mengumpulkan sampah dan memasukkan ke tong sampah, kemudian mencabut rumput yang tersisa di sekitar tumpuk kan sampah tersebut. "Sudah kan Bu" tanya Bagas ingin segera beranjak pergi membersihkan tangan yang kotor akibat memegang sampah dedaunan dan rumput di halaman depan kelas. "Sudah" jawabku lembut. "Bagas pernah tidak membersihkan halaman rumah?". "Tidak pernah Bu, Bagas kerja bantu Bapak membakar batu bata di kilang" sahutnya sambil segera meraih tangan Andika. "Oke, setelah cuci tangan yang bersih, boleh beli air minum atau makanan ya" suaraku kuat mengingatkan mereka yang bergerak menjauh dariku. "Ya, Bu" Jawab mereka bareng.

Kegiatan bersih-bersih kelas terasa menjadi acara yang sangat melelahkan manakala murid-murid ku tidak segera ikut nimbrung keroyokan mencabut rumput, menyapu dedaunan kering atau memasukkan sampah ke dalam tong sampah. Aku menjadi kewalahan menghadapi tingkah malas dari beberapa murid-murid ku. Suaraku jadi nyaring menegur mereka. Yang aku khawatirkan akan timbul cemburu teman-temannya manakala ada teman mereka yang tidak mau membantu. Akan berdampak besar bagi pengaturan kebersihan kelas  jika dibiarkan. Dalam ingatanku ada Bagas, Azrul dan Zeldi yang masih terlihat ogah membantu kegiatan bersih-bersih halaman kelas. "Pendekatan yang ku lakukan masih belum bisa menyentuh hati mereka", pikir ku menyimpulkan.  

Apa yang bisa kulakukan untuk memecahkan masalah ini? Apakah dengan cara coaching clinik bisa memecahkan masalah ini? "Mengapa tidak", batinku berucap lirih. Dengan pertanyaan-pertanyaan sederhana dan suasana akrab aku akan mencoba Coaching clinic untuk mengajak mereka peduli dengan kebersihan lingkungan sekitar. "Ayo kita semangat".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun