Mohon tunggu...
Suri Adnyana
Suri Adnyana Mohon Tunggu... -

Mencoba peruntungan dengan belajar menulis dan membaca.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kegalauan Menyikapi Berita Orang Mati

16 Mei 2012   01:48 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:14 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dulu Berita Orang Mati atau Berita Duka atau Obituary hanya kita temukan di surat-surat kabar. Ada yang berukuran kecil dan ada pula yang mengambil satu halaman penuh. Terlepas dari ukurannya, saya menggolongkan berita itu menjadi 2 jenis.

Pertama, pengumuman kematian WNI keturunan. Jenis ini yang paling banyak dijumpai. Kesannya, warga keturunan berdomisili tersebar hingga kematian seseorang tak mungkin diharapkan terrsebar dari mulut ke mulut karena kendala geografis. Jenis ini ukuran beritanya bervariasi sekali.

Jenis kedua adalah pengumuman kematian warga pribumi. Jenis ini biasanya untuk orang penting. Entah pejabat atau orang kaya. Meskipun tak dikenal, pembaca berita akan berusaha mencari tahu siapa gerangan dan bagaimana terkenalnya. Tak sulit. Biasanya jenis berita orang mati warga pribumi diikuti oleh satu atau beberapa berita ungkapan duka cita. Ungkapan duka cita biasanya menyiratkan bagaimana pentingnya yang meninggal dan mengapa ia perlu memberikan hormat.

Era surat kabar semakin mendapat pesaing sekarang ini. Berrita orang mati banyak, bahkan lebih banyak, disebarkan tidak melalui surat kabar. Ada sms, BBM, dan milist.

Karena mudahnya menerima berita kematian, memberikan beban tersendiri untuk meresponnya. Terutama bila orangnya tak dikenal, hanya dihubungkan oleh pertemanan jauh melalui suatu grup milist atau BBM.  Biasanya, agar mudah, reply saja dengan ungkapan "turut berduka cita". Itu pun bukan tanpa beban.

Bagaimana bila orang yang meninggal telah lama koma, hidup dengan mesin dan cairan mineral? Meskipun kematiannya tak diharapkan, apakah yang ditinggalkan memang sedang berduka? Atau bila yang meninggal telah berumur lebih dari 100 tahun yang tak lagi bisa membedakan siang dan malam, apakah perlu disedihkan?

Kegalauan menerima berita orang mati ditambah lagi dengan banyaknya keyakinan di Indonesia. Maksud hati menjaga image terlihat peduli, bisa berakibat fatal hanya gara-gara kelancangan dalam membuat ungkapan bela sungkawa.

Ketika menyaksikan ungkapan duka cita beseliweran di suatu milist, tanpa berprasangka meragukan kepedulian pengirim, saya berpengharapan agar moderator mengambil peran mewakili seluruh peserta.  Lalu lintas data pasti akan bisa dihemat (tanpa rasa sentimen kepada operator telepon lho!). Tujuan pengumuman dari berita itu pun telah terpenuhi.

Saya juga berharap para penyedia VAS (Value Added Service) bisa menangkap kegalauanpara penerima berita kematian dengan membuat template balasan. Kalau bisa bersetifikat SNI.

Wah kalau terwujud... bebas deh sebagian beban hidup untuk tetap menjaga image.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun