Berangkat kerja ke Jakarta di pagi hari, meskipun rutin dilalui, tetap memerlukan strategi dan perencanaan. Terlambat berangkat 5 menit bisa mengakibatkan keterlambatan 30 menit di tujuan. Perencanaan pun tanpa disadari semakin lama semakin komprehensif, mencakup tiap titik mulai dari pintu keluar rumah.
Begitu sensitifnya perjuangan melawan waktu, toleransi pada setiap kejadian yang mengganggu rencana perjalanan menuju tempat kerja kian lama kian menipis. Tak dipungkiri, friksi-friksi sosial di kota-kota besar dipicu oleh perjaungan setiap individu melawan kejaran waktu. Bisakah undang-undang mengaturnya?
Di suatu pagi buta, seperti biasa saya mengawali perjuangan hidup. Tak jauh dari depan rumah, ketika baru melewati satu tikungan, perjalanan harus terhenti. Jalan terhalang oleh sebuah mobil melintang diarahkan ke pintu pagar rumahnya. Mesin mobilnya masih hidup, dan tampak ada pengemudinya di dalam sedang sibuk membunyikan klakson minta dibukakan pintu pagar. Detik jarum jam terus berputar, orang rumah yang diharapkan keluar tak juga kunjung keluar.
Merasa tak sabar menunggu, atau entah mulai tak enak ditunggui, pengendaranya turun dari mobil berteriak-teriak sambil menggedor-gedor pintu pagar rumahnya. Mobil-mobil yang menunggu drama itu semakin banyak, klakson pun mulai terdengar sahut-sahutan dari belakang.
Seorang perempuan, entah pembantu rumah tangga atau siapanya akhirnya tampak tergopoh-gopoh membukakan pintu pagar dan jalanan sempit di perumahan itu berfungsi kembali.
Seperti dikhawatirkan, perjalanan menuju tempat kerja terasa lebih berat akibat drama majikan dan pembantunya.
Sejatinya pemandangan mobil melintang di depan pintu pagar menghalangi jalan sering saya jumpai. Tetapi sumpah serapah baru keluar di pagi itu karena baru mengalami pada saat kritis. Memang sulit untuk dimengerti, mengapa tak bisa menepikan mobil ketika menunggu dibukakan pintu pagar atau ketika turun membuka pagar sendiri?
Mungkin film-film jaman dulu yang sering menggambarkan feodalisme dan kemewahan terlalu banyak mempengaruhi jiwa para majikan malas itu. Majikan di film itu bisa berperilaku demikian karena diceritakan hidup di rumah yang lebar jalannya lebih dari 20 meter. Nah ini di jalan yang lebarnya hanya 4 meter... duh?
Di tengah-tengah kehidupan kota yang semakin menjepit, sesuatu yang dulu dianggap biasa sekarang bisa menjadi luar biasa. Setiap tahun kita merayakan hari kurban, kebiasaan menghalangi jalan untuk memasukkan mobil ke halaman menjadi sangat ironis. Sejatinya menepikian mobil tidaklah berkorban, tetapi tidak memakan hak orang lain.
Meskipun pengendaranya tampak bertanggung jawab dengan menggedor-gedor pintu hingga anggota keluarganya terpontang-panting saking tergesa-gesanya, tindakan itu bukanlah pengorbanan. Masyarakat tak akan bisa memaklumi seorang majikan melemparkan tanggung jawab sosialnya kepada orang rumahnya.
Perjalanan peradaban menuju masyarakat madani tampaknya masih sangat jauh dari akhir. Meskipun masih jauh, mudah-mudahan tak semakin menjauh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H