Hati-hati dalam mengkonsumsi media, media apapun itu bukan hanya Internet yang semenjak kehadirannya yang begitu mudah dijangkau mengkhawatirkan sebagian besar dari kita para orang tua. Kekhawatiran yang begitu besar terhadap gempuran media ini sehingga para pakar anak terutama, banyak memberikan peringatan dini kepada para orang tua untuk mengawasi anak-anaknya dalam menggunakan internet. Sehingga tanpa sadar kita melupakan satu media yang lebih lama ada di ruang keluarga kita yaitu televisi.
Televisi masuk ke Indonesia tidak sejalan dengan perkembangan daya kritis kita terhadap akibat yang bisa ditimbulkan media ini. Sehingga televisi dianggap sebagai sebuah kebutuhan primer dalam keluarga. Sebagian besar keluarga Indonesia menempatkan televisi ditengah-tengah ruang keluarga yang menjadi pusat perhatian. Ruang menonton diset sedemikian nyamannya sehingga bisa berjam-jam kita menghabiskan waktu untuk menonton televisi.
Lantas apa yang harus kita lakukan sebagai orang tua ketika kita sadar akan dampak yang bisa diakibatkan oleh televisi. Kita harus sadar bahwa anak-anak menonton apapun informasi yang disajikan. Melalui media televisi budaya atau gaya hidup secara halus ditanamkan kepada anak-anak kita. Tanpa sadar anak-anak kita terus menerus disuguhi tontonan yang berbeda dengan budayanya sendiri, mereka diajarkan untuk tampil seksi dan trendi dengan meniru habis-habisan gaya hidup budaya dari luar. Belum lagi ironi dan paradoks yang dimunculkan televisi yang berbeda dengan kenyataan. Sinetron-sinetron yang ditampilkan menggunakan latar belakang rumah mewah dan setting gaya hidup kelas menengah kota yang berbudaya santai dan para artis yang berpenampilan seksi yang menjadi hiburan dominan hampir disemua saluran televisi kita. Sedang dilain sisi masih banyak dari kita yang meski mengais-ngais di tempat sampah untuk bisa hidup, pemukiman kumuh yang bisa kita temui disetiap sudut negeri ini.
Kita sudah diingatkan oleh Psiko-analis Sigmund Freud bahwa bagi anak-anak bermain itu berhubungan dengan pembentukan imajinasi dan daya khayal. Freud mengajukan pertanyaan, “Apakah kita harus mencari jejak pertama pada kegiatan daya khayal dalam masa anak-anak?” Menurutnya, pekerjaan yang paling disukai dan digeluti anak-anak adalah bermain. Bahwa setiap anak ketika bermain menjadi sutradara kreatif yang menciptakan dunianya sendiri, ceritanya sendiri. Permainan mereka ditentukan oleh keinginan mereka sendiri, tak jarang mereka dalam permainannya meniru apa yang dia tahu tentang dunia orang dewasa.
Maka ketika anak-anak menjadi yang paling kita takutkan untuk menjadi korban dari media yang kita takutkan bukan hanya ruang bermain yang terbatas , media bermain tradisional yang terancam hilang, tapi lebih pada dampak psikologisnya karena saat itu yang terancam adalah dunia imajinasi anak. Yakni sebuah ruang kehidupan alami yang bisa menjadi tempat subur bagi mekarnya kreatifitas.
Makassar, 21 Januari 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H