Saat masih kecil, saya ingat betul ketika berhasil mendapatkan nilai bagus di sekolah, orang tua akan memberi hadiah berupa mainan atau makanan kesukaan. Sebaliknya, saat nilai tidak memuaskan, hukuman seperti larangan bermain diterapkan. Waktu itu, saya merasa sistem ini berhasil membuat saya termotivasi... atau mungkin hanya sementara. Pernahkah Anda juga merasakan hal yang sama? Menggunakan hadiah dan hukuman sebagai cara untuk memotivasi anak memang sudah sangat umum dilakukan. Namun, apakah cara ini benar-benar efektif dalam jangka panjang?
The Overjustification Effect
Studi menunjukkan bahwa terlalu sering memberikan hadiah atau hukuman justru dapat menurunkan minat intrinsik anak untuk belajar. Ada eksperimen menarik yang disebut "The Overjustification Effect," di mana anak-anak yang tadinya suka menggambar secara alami kehilangan minat setelah diberikan hadiah setiap kali mereka menggambar. Ini membuktikan bahwa pemberian hadiah yang berlebihan bisa mengikis motivasi dari dalam diri anak.
Dalam film "Dead Poets Society," Mr. Keating menginspirasi murid-muridnya bukan dengan hadiah atau hukuman, tetapi dengan menunjukkan betapa indahnya dunia puisi. Mereka belajar bukan karena ada nilai atau pujian, tapi karena mereka menemukan kesenangan sejati dalam proses belajar itu sendiri. Begitu pula dalam konteks belajar, jika anak-anak hanya terpaku pada hadiah atau takut akan hukuman, mereka mungkin akan kehilangan rasa ingin tahu alami dan cinta sejati terhadap belajar.
Kenapa Hadiah & Hukuman Tak Lagi Efektif?
Sistem hadiah dan hukuman adalah bentuk motivasi ekstrinsik, yaitu motivasi yang berasal dari luar diri anak. Mungkin kita merasa sistem ini efektif untuk jangka pendek, seperti menyelesaikan tugas atau mendapatkan nilai bagus. Namun, apa yang terjadi pada jangka panjang? Anak cenderung belajar untuk alasan yang salah: mereka belajar demi hadiah, bukan untuk mendapatkan pemahaman atau karena minat pada subjek tersebut.
Dampaknya, dalam jangka panjang, kita bisa melihat anak-anak yang kurang kreatif, lebih mudah menyerah ketika menghadapi tantangan, dan kurang mampu menikmati proses belajar. Mereka hanya berfokus pada hasil akhir, bukan pada perjalanan atau pemahaman yang mereka dapatkan di sepanjang jalan.
Menurut Daniel H. Pink dalam bukunya "Drive," motivasi yang paling efektif adalah motivasi intrinsik, yang terdiri dari tiga elemen utama: Otonomi, Penguasaan, dan Tujuan.
Otonomi: Memberikan anak kebebasan dalam memilih apa dan bagaimana mereka belajar dapat membuat mereka merasa lebih bertanggung jawab dan termotivasi. Misalnya, membiarkan mereka memilih buku yang ingin mereka baca atau proyek yang ingin mereka kerjakan.
Penguasaan: Ketika anak merasakan bahwa mereka terus belajar dan berkembang, motivasi mereka akan meningkat. Memberikan tantangan yang sesuai dengan tingkat kemampuan mereka akan membuat mereka merasa tertantang tanpa merasa terbebani.
Tujuan: Anak perlu memahami makna dan manfaat dari apa yang mereka pelajari. Dengan menghubungkan pembelajaran dengan kehidupan nyata, seperti menggunakan matematika dalam situasi sehari-hari, mereka akan melihat relevansi dan nilai dari pembelajaran itu sendiri.
Dampak dari Mengandalkan Hadiah & Hukuman
Dengan terlalu sering mengandalkan hadiah dan hukuman, kita menciptakan lingkungan di mana anak-anak belajar hanya untuk 'mendapatkan sesuatu' atau 'menghindari sesuatu.' Mereka kehilangan rasa ingin tahu, kreativitas, dan kemampuan untuk menikmati proses belajar. Ini adalah kehilangan yang besar, karena proses itulah yang seharusnya menjadi inti dari pembelajaran.