Mohon tunggu...
Surat Yasin
Surat Yasin Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

mahasiswa uin jogja / peneliti Human Literasy

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Potret Negeriku Saat Ini

31 Oktober 2014   21:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:02 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

aku terduduk disini. menatap kearah luasnya tanah ini yang sanggup tergapai oleh indera ini. hamparan tanah yang dulunya terlihat beseri-seri kini hanya bagai keringnya daun yang menunggu waktu untuk jatuh ke bumi, menghembusi setiap hal yang mungkin saja terjadi. aku masih tak mampu tuk berfikir, apa yang bisa aku lakukan untuk mengembalikan keceriaan tanah ini? dia seolah seperti seorang tua renta yang termakan usia hingga menunggu ajalnya tiba. padahal dia masih muda belia, hanya ada saja yang tak bisa berkehendak sesuai dengan nalurinya. dulu, sejauh mata memandang tak sampi 50 meter jaraknya pandang ini terbatas pada rindangnya pohon yang begitu hijau nan mempesona. tanah masih begitu segarnya, memberikan rasa dingin pada telapak kaki sebagai rasa persahabatannya. tak segan pun angin meniupkan hembusannya yang begitu kencang nan bertenaga. seakan mengisyarakatkan bahwa dialah yang perkasa.

setiap makhluk, hidup tanpa ada yang saling mencerca, membrikan pesona betapa indahnya hidup berdampingan dengannya. keakraban yang tidak mungkin lagi didapat kala ia berteduh dikota. jangankan untuk keselarasan, hewan-hewan kecil dan melata pun tak canggung untuk meneriakkan kegebiraannya. siang menjadi sahabat yang terindah kala kita menatapkan tubuh kita keufuk timur, menatap sang surya yang malu menampakkan dirinya dan bersembunyi dibalik rimbunnya rimba raya. dibalik rimbunnya rimba yang belum trjamah akan keegoisan manusia. sontak siangpun menjadi berbinar-binar, tak segan mentari memberikan salam hangat sebagaimana kodratnya.

namun semuanya kini hanya dalam batas khayalku semata. haha........ jangankan untuk memandang sejauh 50 meter, dengan jengkal sepuluh meter saja, mata ini sudah disapa oleh gedung-gedung yang berdiri begitu kokohnya, menampakkan keangkuhannya yang tidak ingin goyah meski hanya sepanjang mengerdipkan mata. pohon-pohon layu kering berada didekatnya, menggambarkan keegoisannya yang hanya ingin berdiri sendiri tanpa ada yang menyandinginya. sekana tak ingin ada yang mengalahkannya, baik itu dari kekuatan, keindahan, kemegahan dan keluwesan.

semua itu hanya secuil memori yang masih tinggal dalam benakku, tidak ingin pergi sampai sepanjang usiaku. humh,,, jangankan pergi, jika saja ada niatan untuk meninggalkanku, takkan kubiarkan itu terjadi. akan selalu kusimpan itu sebagai kenangan terindah dimana tak banyak orang yang mengetahui keindahannya. itu adalah bagian yang akan selalu menjadi kenangan ini.

mengingat bagaimana angin menghembuskan tiupannya, menggoyangkan setiap pohon-pohon kokoh nan tinggi. dengan kekuatannya yang begitu besar. namun sekarang, dia hanya membisu, dia segan untuk menampakkan kekuatannya, gedung-gedung itu tak ingin kalah dengannya, membuatnya semakin merasa hilang kekuatannya. jangankan angin, hewan-hewan kecil nan melata yang hidup disampingnya pun hanya terdiam, membelalakkan mata, melihat keganasan gedung yang tiada taranya itu.membelalakkan mata melihat sebuah fenomena yang membuatnya jadi merinding bahkan hanya untuk berdiri didekatnya. jangan menghayal, untuk bersuara riuh kecil saja tak terucap sedikitpun. semuanya mati.

dengan melihat itu, gunung-gunung pun tak sabar dan menuangkan segenap amarahnya. tanah pun berguncang pertanda kerisauannya akan tingkah laku manusia. lautan pun ta ingin ketinggalan. ia pun ikut 'urun rembug' untuk berdiskusi tentang apa yang harus dilakukan untuk memberikan pelajaran kepada manusia.

mereka bekerja sama. ya!!! mereka semua bekerja sama untuk memberikan pelajaran kepada setiap penghuni bumi ini yang tidak bertanggung jawab akan perbuatannya. tanah, gunung, dan laut merekan saling berencana bergantian memberikan peringatan kepada mereka (manusia). bertubi-tubi bencana lautpun memulainya sebagai yang pertama, dengan hantaman ombaknya diluluhlantakkan setiap penghuni yang berdidi sombong disekitar pantai hingga berkilo-kilometer jauhnya, longsor terjadi dimana-mana, kemudian disusul dengan letusan gunung-gunung berapi yang tiada hentinya. dan mereka masih menunggu sikap dari sang manusia. dan sampaai saat ini pun mereka masih berencana dan bersiap meluapkan amarahnya kembali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun