Mohon tunggu...
Rahmat Petuguran
Rahmat Petuguran Mohon Tunggu... -

Orang desa, senang jalan-jalan dan membaca...

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Dari Jogja Gerakan Antikorupsi Bermula

25 Februari 2011   10:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:16 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KPK juga terkendala resourch. Ekspektasi publik yang begitu tinggi tidak diimbangi dengan jumlah tenaga di sana. Hingga akhir 2010 tercatat, pegawai KPK hanya sekitar 600 orang. Itupun sebagian pinjaman dari lembaga penegak hukum lain, yakni Polri dan Kejaksaan. Padahal, jumlah penyelenggaran negara yang harus diawasi KPK jumlahnya mencapai ribuan. Keterbatasan ini bisa membuat upaya pemberantasan korupsi kalah awu dari praktik korupsi yang terus terjadi. Terlebih, dilihat dari modus dan kuantitasnya, korupsi terus berkembang.

Dalam kondisi inilah gerakan masyarakat sipil (civil society) memegang peran sangat penting. Masyarakat berperan menambal sulam pendekatan hukum yang tidak dapat dimainkan KPK. Dalam fungsi pengawasan misalnya, masyarakat sipil punya kelebihan karena bersentuhan langsung dengan proses penyelenggaraan negara. Tidak sekadar menjadi pelapor, masyarakat bisa lebih aktif dengan memberi sanksi sosial pada individu dan lembaga korup.

Soal gerakan massa seperti ini, Jogjakartalah ahlinya. Jogjakarta memiliki cukup sumber daya untuk menjadi embrio gerakan antikorupsi yang masif. Setidaknya karena tiga hal. Pertama, Jogjakarta memiliki cukup banyak warga terpalajar. Pelajar, mahasiswa, dan warga terdidik di sana memahami korupsi, setidaknya dari aspek sosiologis. Pemahaman itulah yang membuat mereka kritis sehingga mudah tergerak dan membentuk gerakan bersama yang lebih masif.

Kondisi ini bisa dibuktikan dengan munculnya kelompok masyarakat yang secara intensif mempelajari korupsi. Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Universitas Gajah Mada misalnya, terbukti mampu menyumbangkan kajian dan pemikiran tentang anatomi korupsi di Indonesia. Lembaga lain, Sentra Informasi dan Data Anti Korupsi (SIDAK) juga telah berperan besar dengan melahirkan kader antikorupsi. Di Jogjakarta pula lembaga kemahasiswaan semacam ASCS (Anti Coruption Student Comunity) dan Lembaga Anti Korupsi Mahasiswa Muhamadiyah (LAKMM) menunjukkan sumbangsih nyata.

Kelompok terpelajar Jogjakarta, dalam analisis gerakan sosial, termasuk dalam kelompok menengah dan elit. Posisi demikian memberi keleluasaan komunikasi dengan elit politik dan pemerintahan (ke atas) dan masyarakat kelas bawah. Ia menjadi konektor yang menyerap aspirasi masyarakat bawah, mengartikulasikannya, dan kemudian menyampaikannya kepada elit. Pada saat yang sama, kelompok terpelajar mampu membahasan kebijakan pemerintah supaya bisa dipahami masyarakat bawah. Pada akhirnya, masyarakat akan bersikap kritis dan menempatkan peran secara proporsional menanggapi kebijakan pemerintah.

Kedua, Jogjakarta memiliki kekuatan kultural yang bisa digerakan untuk memerangi praktik korupsi. Keberadaan tokoh kharismatik sekaliber Sri Sultan Hamengkubuwono X misalnya bisa memberi suntikan energi luar biasa supaya warga di sana memulai perang itu dalam praktik kehidupan sehari-hari. Keteguhan moral yang bertaut dengan laku spiritual warga membuat daerah ini sangat potensial menjadi percontohan. Jogjakarta bisa menjadi bukti bahwa pilihan hidup sederhana juga bisa menjadi jalan meraih harmoni, bahkan kebahagiaan. Jika nalar ini dibangun terus menerus, masyarakat akan sadar hidup toh bisa bahagia tanpa harta berlimpah. Tentu saja tanpa korupsi!

Ketiga, citra Jogjakarta sebagai kota budaya membawa konskuensi psikologis bagi warga dan pendatang di sana. Ada perasaan ewuh dan merasa berdosa jika harus menggunakan Jogjakarta sebagai tempat praktik perbuatan dosa. Warga setempat, pemilik sah habitus khas Jogjakarta, tentu tidak rela jika citra adiluhung kebudayaannya dirusak oleh praktik tercela semacam korupsi. Demikian pula pendatang, akan merasa tidak enak hati jika melakukan tindakan amoral di tengah masyarakat yang bersahaja. Terlebih, pimpinan daerah ini, Herry Zudianto, dinilai berkomitmen memberantasan korupsi sehingga semat dianugerahi Bung Hatta Ant-Coruption Award Oktober 2010 silam.

Meski demikian, ketiga potensi tersebut tidak akan berarti banyak jika tidak dikolaborasikan dalam satu gerakan. Terbukti, gerakan sosial banyak yang mandeg di tengah jalan karena harus “berperang” sendirian. Gerakan buruh misalnya, hampir selalu gagal mengartikulasikan tuntutan karena lemah advokasi. Gerakan petani dan nelayan, juga kerap mengalami hal serupa.

Karena itu, Jogjakarta sebenarnya hanya perlu satu unsur lagi agar gerakan antikorupsi di sana mewujud menjadi habitus baru, yakni konvergensi. Syaratnya, elemen masyarakat antikorupsi di sana terlebih dahulu menetapkan road map perang melawan korupsi. Masing-masing elemen kemudian menggambil peran secara proporsional sesuai kapasitas dan kompetensinya. Gerakan kemudian menjadi struktur masyarakat baru yang melakukan kerja secara sistematis. Untuk itu, diperlukan organisasi atau tokoh besar yang mampu menghimpun anti korupsi di sana. Kira-kira siapa ya? Sri Sultan?[]

Dari blog Rahmat Petuguran

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun