Mohon tunggu...
Rahmat Petuguran
Rahmat Petuguran Mohon Tunggu... -

Orang desa, senang jalan-jalan dan membaca...

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Dari Jogja Gerakan Antikorupsi Bermula

25 Februari 2011   10:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:16 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

DICERITAKAN, ribuan manusia mengantri menunggu pengadilan terakhir dari Tuhan menjelang hari pembalasan. Setiap orang berdiri di depan pintu sesuai asal negaranya. Di pintu ituah terpasang jam yang jarumnya bergerak sesuai tingkat korupsi negara bersangkutan. Pengantri dari Selandia baru melihat jam di depannya berjalan sangat pelan. Orang Skandinavia juga demikian. Orang Mesir protes karena jam dindingnya berputar lebih cepat.

“Hei malaikat, kenapa jam kami berputar sangat cepat?” tanyanya.

“Karena presidenmu terbukti korup. Ia menimbun kekayaan hingga 300 tilyun selama 30 tahun berkuasa,” jawab malaikat.

Pengantri lain dari Somalia juga protes. “Lalu kenapa jam kami juga sangat cepat?”

“Karena banyak pejabat di negaramu juga korupsi, sampai rakyatnya miskin,” jawab malaikat lagi dengan santai. Saat itulah, orang Somalia protes.

“Tapi kenapa jam orang Indonesia justri diam saja? Bukankah di sana juga banyak korupsi sampai rakyatnya miskin?” tanyanya, tampak geram.

Malaikat, sambil melangkah ringan, menjawab. “Perhatikan baik-baik. Jarum jam Indonesia tidak tampak karena berputar terlalu kencang.”

Demikian anekdot yang kerap terdengar sebagai pengakuan bawah sadar betapa korupsi telah menggurita di negeri ini. Ada dua kesadaran sosial yangdapat kita rekam dalam anekdot itu. Pertama, korupsi telah disadari akut. Lapisan masyarakat dari bawah hingga atas sadar betul jika korupsi telah menjadi penyakit sosial yang parah. Akut.

Namun demikian, dalam anekdot itu juga tersirat pesimisme. Seolah ada sikap pasrah mendapati praktik korupsi telah terjadi di mana-mana, dari hulu hingga hilir. Di tingkat pusat, lembaga semacam Departemen, DPR, Polri, Kejaksaan Agung, hingga Mahkamah Konstitusi ditengarai tidak luput dari serangan korupsi. Di tingkat daerah, sudah tidak terhitung jumlah anggota DPRD dan bupati/walikota yang dibui karena melakukan tindakan itu. Bahkan kini, dalam anekdot lain, berita tentang bupati korupsi hanya menjadi “Kilas” di halaman surat kabar.

Di tengah keputusasaan itu, masyarakat tampaknya hanya menumpukan harapan pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga itu relatif lebih dipercaya karena memiliki track record yang bagus. Hingga saat ini bahkan, 100 persen perkara yang ditanganinya mencapai vonis bersalah. Selain karena KPK tidak memiliki wewenang mengeluarkan SP3, indikator ini dapat dimaknai sebagai komitmen tinggi lembaga tersebut dalam usaha pemberantasan korupsi.

Namun, dalam perjalanan pemberantasan korupsi lembaga yang kini diketuai Busyro Muqodas ini menemui berbagai kendala, bahkan serangan. Sudah beberapa kali lembaga ini coba dilemahkan. Secara konstitusional, kewenangannya dikurangi. Dari aspek politis, pimpinan KPK dicap sebagai tersangka seumur hidup oleh sebagian anggota Komisi III DPR. Sementara dari aspek hukum telah diketahui, dua pimpinannya pernah dikriminalisasi sehingga menurut Kepala Humas lembaga itu, Johan Budi S, “selama 2009 KPK babak belur.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun