Mohon tunggu...
Su Rahman
Su Rahman Mohon Tunggu... -

Hanya manusia biasa yang sedang mencari jalan untuk pulang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Suatu Waktu Pagi di Sudut Jakarta

16 Juli 2012   10:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:54 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari ini kembali ku dengar sedu dan sedan jiwa-jiwa yang sedang lalu lalang, deru kendaraan yang meraum tersendat pada pagi itu tidak mampu menghalau jerit sedu sedan jiwa-jiwa itu. Seperti mayat hidup yang bangkit dari dalam kuburnya masing-masing, dengan jemari tangan mengapai-gapai udara, suara serak erangan menyayat kalbu siapa yang medengarnya.

Ku rasakan di tengah keramaian itu ada rasa sunyi yang menusuk-nusuk kalbu mereka, wajah mereka tegang mencoba untuk menembus kemacetan yang tak kunjung terurai karena jumlah kendaraan melebih dari ruas jalan. Ku rasakan sebentuk energi naik perlahan mengisi volume udara, dentum klakson saling sahut seolah dentum klakson tersebut adalah makian yang saling menimpali antara satu pengemudi dengan pengemudi lain. Amarah mengisi volume udara pagi hari itu.

Di sudut lain banyak mata yang tenggelam ke dalam gadgetnya, mengetikan sumpah serapah melalui Bbnya. Banyak jiwa hanyut ke dalam aktifitas Bbnya, namun tidak jerit kesepian dan sedu sedan yang kian menyayat. Aku hanya mampu memandang arakan awan bening diangkasa, ku tarik oksigen yang sudah tercemar polusi kendaraan.

“Hidup di tengah kota dengan segenap hiruk pikuknya,

Diri adalah teman bagi diri sendiri,

Tak ada teman yang menemani terkecuali diri itu sendiri.

Rasa kesepian itu begitu nyata,

Sedu dan sedan itu masih menyayat.”

Keterpisahan antara diri dengan diri itu-lah yang melahirkan sebuah ruang kosong, ruang kosong yang senantiasa tersedu – senantiasa berteriak meminta tolong dengan nada menghiba-hiba. Ada kerinduan yang tak pernah bisa terungkap, kerinduan yang begitu kental.

Kerinduang kepada rumah asal.

“Darimana aku berasal ?

Darimana ?

Darimana ?.”

Tanya itu selalu menusuk-nusuk alam jaga, mengusik dan mengusik hingga pada akhirnya kelopak mata terpejam masuk ke dalam gelap, di dalam gelap mulai menyusuri helai demi helai perasaan yang berlapis-lapis.

Menyusuri lapis demi lapis bersamaan dengan nafas yang keluar dan masuk, nafas masuk peru mengembung. Nafas keluar perut menghempis, Guruku menerangkan bahwa nafas dan pikiran ibarat sebuah bambu yang sama. Pegang satu ujungnya maka ujung lain akan terpegang, kegelisahan pikiran yang berlapis-lapis dapat dikenalikan dengan merasakan keluar masuknya nafas.

“Darimana aku berasal ?

Kemana arah tujuanku ?

Sudah seberapa dekat aku dengan tujuanku?”

Begitulah pesan Guruku agar aku bertanya dan terus bertanya.

*

Sebuah dentum klakson mengembalikan alam jagaku pada situasi sekitar dimana begitu bising, aku terhuyung-huyung menatap kenyataan pagi ini. Rasa sunyi yang menghiba-hiba itu sudah tak terasa lagi, namun keresahan yang terbalut oleh amarah kental tersapa oleh alam jagaku.

Aku menarik nafas mengisi paru dada dengan oksigen yang sudar tercemar, kembali menyadarkan diri bahwa pada dasarnya aku adalah seorang pejalan. Kita semua adalah seorang pejalan yang sedang menempuh jalan sunyi, satu-satunya teman adalah diri sendiri. Dan ke sanalah seharunya kita semua kembali, untuk selalu mendengungkan tanya.

“Darimana asalku ?,

“Darimana aku berasal ?

Kemana arah tujuanku ?

Sudah seberapa dekat aku dengan tujuanku?”

Tak ada penawar dari rasa sepi yang menghantui setiap manusia, terkecuali kembali ke dalam dirinya sendiri. Karena rumah asal yang dirindui itu hanya bisa kembali ditemukan dengan cara meniti ke dalam diri sendiri, kira-kira seperti itu nasehat Guruku.

Jakarta, 17 Juli 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun