BERSAMA dua orang peneliti dari Universitas Hasanuddin, Makassar Andi Muhammad Yusuf, M.Si juga sebagai Dosen UIN Mataram dan Andi Cipta Surya, S.Sos. Keduanya peneliti dengan disiplin ilmu Antropologi. Keduanya ikut melakukan observasi ke situs So Langgodu di Desa Hu'u, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat, Selasa, 31 Oktober 2023.
Kami mengendarai dua sepeda motor menuju lokasi situs yang berada di dekat Dam Sembana desa setempat. Dari jalan utama menuju pantai Lakey, kami melajukan kendaraan dengan melewati jalan kerekil yang belum diaspal menuju lokasi. Di dekat sungai kami harus memarkirkan kendaraan, lalu menyeberang sungai untuk sampai ke areal situs.
Di bawah terik matahari siang, kami berjalan kaki di pinggir pematang sawah. Sesampainya di pintu masuk sawah warga, terdapat baru lesung yang masih terawat. Batu ini masih di tempatnya semula dan sudah tidak digunakan lagi seperti sedia kala saat batu lesung dibuat. Dan ini merupakan bukti peninggalan kehidupan masyarakat yang pernah mendiami wilayah ini.
Kemudian tidak jauh dari situ, lebih tepatnya di kaki bukti terdapat batuan yang nampak digunakan untuk mengairi persawahan. Bahkan cerita tutur yang ada di masyarakat bahwa batuan ini digunakan sebagai tempat pemandian karena memiliki saluran untuk mengairi air dari atas parit.
Sementara disampingnya terdapat batu kajuji atau sebagian pihak mengatakan itu batu lesung yang difungsikan untuk menumbuk hasil pertanian berupa biji-bijian dan padi. Batu kajuji sendiri secara harfiah dapat diartikan sebagai wadah permainan congklak yang melibatkan dua orang. Namun demikian, kedalaman lubang di batu ini sekitar 30 cm. Tapi jika diperhatikan, batu ini memiliki pijakkan kaki diujungnya yang bisa diasumsikan bahwa fungsinya sendiri untuk mengolah hasil pertanian.
Di pinggir tebing terdapat batu kursi atau di kenal batu duduk kursi raja. Sementara dalam bahasa lokal setempat dikenal dengan sebutan Wadu Kadera. Dimana raja duduk di atas kursi ini lalu bisa melepas pandang pada semua areal di utara bukit. Untuk sampai di tempat ini dibutuhkan tenaga ekstra karena harus mendaki dengan jalan setapak yang berkelok-kelok. Sebab jika tidak berhati-hati atau kaki terpeleset saja maka bisa berakibat fatal dan kemungkinan terjatuh.
"Situs So Langgodu dari pengamatan kami, idealnya memantik penelitian yang lebih dalam lagi terutama bagi kalangan arkeolog dan sejarah. Objek wadu kadera, misalnya, masih perlu dianalisis secara holistik untuk mendapatkan penjelasan atau setidaknya interpretasi mengenai fungsinya di masa lalu" Ujar Andi Muhammad Yusuf sesaat memperhatikan kondisi situs.
Lebih lanjut Ucup demikian nama panggilan dosen lulusan Unhas ini menuturkan dalam kacamata antropologi, diperlukan upaya menganalisis lebih dalam kaitan dengan beberapa peninggalan di So Langgodu.
"Sedapatnya menganalisis kaitan dan konteks dari situs tersebut bagi komunitas yang hidup disekitarnya. Terangnya
Karena terik matahari menyengat kulit, kami tidak bisa melakukan observasi secara keseluruhan di areal situs So Langgodu termasuk di bukit Doromanto. Karena selain terdapat batu duduk kursi raja, terdapat pula peninggalan lain di tempat ini seperti batu kubur, batu berlubang, kopa Ncuhi, tempat dudukan priuk serta peninggalan lainnya.
Di bawah bukit terdapat areal persawahan yang ditanami padi yang tidak mengenal musim karena air selalu mengalir saban hari di parit yang menjurus sepanjang kaki bukit. Sementara tidak jauh dari bukit terdapat sungai dengan keberadaan Dam Sembana sebagai tempat penampung air untuk dialirkan ke parit yang mengarah ke areal persawahan.
Tanah di tempat ini cukup subur dengan limpahan air yang cukup. Sehingga hasil pertanian bisa berlangsung sepanjang tahun. Karena masyarakat setempat tidak saja menanam padi, tetapi juga bisa menanam tanaman lain berupa kacang, kedelai dan lain - lain.
Keberadaan situs ini telah mengundang minat para arkeologi dan pemerhati sejarah untuk melakukan observasi dan penelitian tentang peninggalan di situs So Langgodu. Sementara cerita tutur yang masih hidup di masyarakat, bahwa areal situs ini merupakan bekas kampung tua atau bahasa setempat menyebutnya rasa ma ntoi. Sebuah kampung dimana nenek moyang masyarakat setempat pernah mendiami dan melahirkan generasi hingga saat ini.
Sebuah kampung tua yang kini masih bisa dilihat oleh generasi. Kemudian tinggal sekarang bagaimana menjaga, merawat dan melestarikannya untuk keberlangsungan sejarah dan budaya bagi generasi di masa mendatang. Karena dengan memahami sejarah maka identitas itu menjadi kekuatan agar tidak mudah hilang dari semesta.
Karena dengan itu kita memiliki jati diri sebagai manusia Dompu seutuhnya. Manusia yang menghargai warisan leluhur yang kian purnama namun tetap mengembang sebagai lokomotif bagi perkembangan zaman hari ini, lebih-lebih di masa yang akan datang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H